Dua puluh empat

303 32 10
                                    

Arnes memasukkan kunci mobilnya ke saku celananya sembari berjalan ke teras rumah. Tangan kirinya tetap berada di saku, sedangkan tangan kanannya meraih kenop pintu lalu menariknya. Tidak terkunci.

Arnes mengunci pintu. Menaruh sepatunya di rak yang ada di samping pintu, dan melangkah lagi. Napasnya tertahan dan langkahnya berhenti saat melihat pria paruh baya duduk di salah satu sofa sambil menatapnya. Arnes yakin ayahya marah.

"Duduk." ucap Daniel dingin, mengarahkan dagunya ke sofa seberang.

Helaan napas berat diembuskan Arnes. Ia duduk bersandar di seberang Daniel yang memangku tangan di pahanya. Rahang Daniel mengeras menatap putranya itu.

"Arnes minta maaf, Pa."

Daniel menarik napas lelah sekaligus memejam mata sebentar, berusaha meredam emosinya. Barang sekali, ingin Daniel berbicara dengan Arnes tanpa menggunakan urat.

"Pergi ke mana kamu, Arnes?"

Lagi-lagi napas Arnes tertahan. Nada bicara Daniel yang terdengar lelah, membuatnya merasa bersalah. Entahlah, mungkin sedikit.

"Arnes... pergi sama Alana."

"Alana? Pacar kamu?"

"Iya." Arnes tahu betul, ayahnya sedang berusaha tidak meledakkan emosinya.

Daniel menggeleng, mengusap wajahnya frustrasi. "Kamu bisa buat Bella sakit hati, tahu?"

"Ya tapi, Pa, Arnes gak suka sama Bella, Papa tau kan?" Arnes menghela napas. "Arnes tau bisnis Papa penting, tapi ini masalah hati Arnes, anak Papa sendiri."

"Kalau dulu kamu gak pernah putus sama Bella, kamu juga akan terima kan, Papa jodohin?" balasan papanya telak bagai kartu AS.

Mendadak pikiran Arnes buntu. "Pa...."

"Apapun masalah kalian dulu, harusnya kamu balik lagi ke Bella, Nes."

Arnes mencengkram rambutnya sesaat. "Papa gak tau masalahnya." ketus Arnes.

Untuk beberapa detik, keadaan hening.

"Lagipula Papa gak akan jatuh miskin, cuma karena gak jalin kerja sama dengan papanya Bella."

Daniel tersentil dengan perkataan Arnes. Ia menggelengkan kepala, membiarkan egonya menang lagi. "Papa capek argumen sama kamu."

Arnes mendongak, pria di hadapannya itu berdiri, dan menepuk pundaknya pelan. "Kamu tidur sana."

Daniel berjalan ke kamarnya, sementara Arnes masih duduk diam. Pikirannya berkecamuk. Apakah hubungannya dengan Daniel bisa membaik? Tapi selama perjodohan itu masih mengekang benak ayahnya, rasanya belum akan membaik. Ditambah, Daniel mengungkit masa lalunya.

Masa lalu yang Arnes betul-betul ingin hapus dari memorinya.

"Hufth," Arnes mengembuskan napas kasar. Menyisir rambut ke belakang, Arnes kemudian naik ke kamarnya.

***

Hari Senin kembali tiba.

Kelas yang ditempati Arnes sudah cukup ramai. Arnes menenggelamkan kepalanya di atas meja, memejam mata. Seperti ada benang kusut yang mengganggu pikirannya.

"Ada yang main MoLe gak?" tanya Jaja pada teman-temannya.

"Gue main gila, Ja. Udah dari kapan tau," jawab Nevan.

"Baru main lo ye? Gue, Arnes juga main bahkan." balas Arka.

"Oh begitu.... Iya nih, gue pemula." kata Jaja dengan tampang sok lugu yang membuat kedua temannya jengkel. Pandangan Jaja mengarah pada Arnes. "Ngapa dia?"

Heart Like YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang