Playlist at mulmed! Diputar yaa..
"Saya mau donorin ginjal saya. Apa bisa, Dok?"
Saat Alana melontarkan pertanyaan barusan, Arnes dan Winna sontak menatapnya Mereka sepertinya kaget.
Arnes menggeleng, ia menatap Alana. "Al, nggak usah. Aku sama mama bisa cari pendonor lain."
"Dok, boleh kan?" tanya Alana pada Dokter Haris.
"Kalian masih punya waktu untuk mendiskusikan, atau bisa minta bantuan rumah sakit untuk mencari donor. Tapi yang perlu kalian ketahui, akan ada resikonya masing-masing. Baik untuk penerima, maupun pendonor."
"Saya siap kok, Dok."
"Al," panggil Arnes sambil meliriknya.
"Baik, Dok, terima kasih. Kami akan cari pendonor secepatnya." jawab Winna menyudahi.
Mereka bersalaman dengan Dokter Haris lalu meninggalkan ruangan. Ruangan itu tak jauh dari pintu keluar, jadi mereka hampir tiba. Di lorong dekat pintu keluar yang sepi, Arnes menahan lengan Alana. Otomatis langkahnya juga terhenti.
Arnes menatapku Alana lagi. "Al, nggak usah. Nggak usah donorin ginjal kamu buat aku, aku bisa cari donor lain."
"Cari donor ginjal nggak gampang, Nes, belum pasti. Ada aku di sini yang bersedia, nggak perlu cari yang belum pasti."
"Tapi kamu bakal hidup cuma dengan satu ginjal, yang pastinya gak mudah."
"Aku lebih baik kehilangan satu ginjal aku, daripada kehilangan kamu." tuturnya penuh kejujuran.
Arnes terdiam. Matanya yang kecoklatan digenangi air, tapi masih sanggup ia bendung. Dengan sekali tarikan, Alana sudah berada dalam dekapannya. Alana siap kalau kehilangan satu ginjalnya, asal tidak kehilangan Arnes.
"Please, Nes. Terima ginjal aku ya?" tanya Alana penuh harap. "Aku sayang kamu."
"Kita bahas nanti ya, Al."
Alana mengangguk. Lalu ia melirik Winna yang sedang menatap mereka dengan senyum kecil. Saat beliau berjalan mendekat, Arnes melepas pelukannya. Winna menatap Alana dan Arnes bergantian.
"Mama ada urusan sebentar, Nak. Kamu pulang sama Alana aja ya?"
"Ya udah, Ma. Hati-hati."
"Hati-hati ya, Tan." Alana tersenyum ramah.
Winna tersenyum sambil mengibaskan tangannya. Lalu ia berjalan menjauh. Arnes menarik bahu Alana agar tetap di dekatnya, dan Alana meletakkan tangannya di punggungnya. Mereka berjalan ke parkiran mobil.
Alana masuk ke mobil lalu memakai seat belt. Begitu juga Arnes.
"Kita ke cafe yuk?" tanya Arnes sambil menyalakan mesin.
"Sekarang? Tapi udah jam lima." Alana melihat jam di ponselku.
"Kamu nggak boleh pulang malem?"
"Aku bilang mommy sama papi dulu ya."
Arnes mengangguk dan melajukan mobil.
Alana mengirim pesan pada Alex juga Allysa kalau ia akan pulang agak malam. Alana memandang keluar jendela sembari mobil ini keluar area rumah sakit. Menunggu balasan pesan dari orang tuanya. Lalu ponselnya bergetar, Allysa sudah membalas. Katanya boleh, dan ia akan beritahu papi.
"Boleh, Nes, sama mommy. Nanti dikasih tau ke papi katanya"
"Oke. Kalau gitu kita ke cafe biasa ya, aku mau cerita sama kamu." Arnes menatapnya lalu menatap ke jalanan lagi.
Jalanan yang lengang membuat Alana dan Arnes cepat sampai di tujuan, yaitu Cafe Jingga. Memarkirkan mobil, Arnes merangkul gadisnya masuk ke dalam. Mereka memilih meja di ujung, dekat jendela, tempat duduk dengan sofa. Arnes duduk di samping Alana.
Ia lalu memanggil pelayan, dan memesan dua cappucino pada pelayan yang menghampiri kami. Ya, Alana juga suka cappucino.
Alunan musik klasik menemani mereka sore ini. Alana memandang keluar jendela, menantikan langit yang mulai mengarak senja. Juga sang matahari yang mulai turun ke peraduannya. Gabungan hal-hal indah ini terasa lengkap. Ditambah secangkir cappucino, dan Arnes di sampingnya.
"Al," panggilnya. "Aku mau curhat boleh kan?"
Alana tersenyum, "Masa iya nggak boleh?"
"Permisi, ini pesanannya." Pelayan tadi menghampiri kami, membawa nampan dengan dua pesanan mereka di atasnya.
Alana juga Arnes mengaduk cappucino kami. Alana hanya mengaduk, sementara Arnes lalu menyeruputnya sedikit. Kemudian Arnes menatapnya lekat. Alana tahu ada yang ingin Arnes sampaikan.
"Aku sebenernya ada masalah sama papa aku." Ia memulai cerita. "Entah aku aja yang ngerasa, atau emang papa yang susah ngertiin aku. Papa selalu maksain kehendaknya ke aku. Aku nggak bisa bebas. Tiap hari aku udah ketemu papa yang bikin aku pusing."
Arnes mengembuskan napas berat. "Terus Bella. Tiap hari dia ganggu aku, sekarang juga ganggu kamu. Bahkan nyinggung perasaan kamu. Aku benci kalau dia sampe nyinggung perasaan kamu. Di rumah, di sekolah, sama aja, nggak bisa tenang. Sekarang tambah lagi aku kena gagal ginjal.
"Kalau tadi itu di rumah sama di sekolah aja, sekarang di mana pun juga aku nggak bakal tenang. Aku pasti bakal tiba-tiba kesakitan. Aku nggak ngerti," Arnes menjeda ucapannya. "Rasanya kayak masalah dalam hidup aku nggak ada habisnya."
Mendengar suaranya melemah, Alana mengamit tangan Arnes yang sedang bertumpu di pahanya. Menggenggamnya, coba mengalirkan kekuatan untuknya. Mengusapnya, coba memberi rasa tenang, juga kepercayaan. Kini Alana benar-benar melihat sisi rapuh dari Arnes-nya ini.
Arnes bercerita dengan jujur kan? Ia bermasalah dengan papanya, meski tidak menjelaskan pasti apa masalahnya. Juga tentang Bella.
"Aku nggak bisa sekuat itu, Al, aku bukan baja. Tapi orang-orang anggap aku tuh baja, yang aku bisa diapain aja." Arnes mengusap wajahnya dengan tangan satunya.
"Mungkin kamu nggak sekuat baja, tapi kamu kuat. Aku bakal selalu ada buat nguatin kamu." kata Alana lembut.
Tiba-tiba Arnes menarik Alana ke dalam dekapannya lagi. Kali ini lebih erat sehingga agak sulit Alana bernapas. Alana balas memeluknya. Mata Alana memejam saat suara Arnes terdengar parau di telinganya.
"Please hug me really tight and tell me you love me. Tell me that you're glad to be here with me. Tell me that evereything will be alright. And please tell me that you will never leave me."
Alana mengeratkan pelukannya
"I love you so much, Nes. I'm glad to be here with you. You don't have to worry, everything will be alright. And I will always be here, I wont leave you."
"Jangan pergi ya, Al. Aku butuh kamu." ucap Arnes lagi.
"Nggak akan, Nes."
Arnes menarik diri dari pelukan hangat ini. Diukirkan senyum di bibir Alana untuknya, dia pun membalas senyum itu. Arnes mendekatkan wajahnya pada Alana. Lalu ia mengecup lembut kening gadis itu, membuat matanya terpejam sesaat.
"Maaf kalau aku nggak bisa sekuat yang kamu kira."
Alana menatapnya dengan tanya. "Semua orang punya sisi lemahnya masing-masing, Nes. Kamu, juga aku pun begitu. Nggak tiap saat kita bisa kuat terus, kan?"
Arnes mengangguk. "Iya, aku tau. Dan kamu harus selalu temenin aku ya?" Tangannya mengusap pipi Alana.
"Udah aku bilang, pasti."
Untuk beberapa saat, mereka berdiam. Saling menikmati cappucino dan memandang keluar jendela. Kami disuguhkan pemandangan indah di kala senja. Langit dengan beberapa perpaduan warna ungu dan oranye yang menyatu sempurna.
Menyesap cappucino-nya, pikiran melayang. Rasanya... ia mengerti, bahwa bukan seberapa besar rasa cinta pada seseorang, tapi keikhlasan hati untuk tetap menggenggam di dalam keadaan yang sulit.
###
DOUBLE UPDATE!
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart Like Yours
Novela JuvenilAlana, murid baru dengan perawakan yang kalem, penyuka musik dan puisi, juga mampu menarik hati Arnes. Arnes merasa yakin untuk memberikan hatinya lagi kepada seorang gadis. Menjadikan Alana bintang di hidupnya. Tapi ketika mereka berpacaran, ada s...