Happy Reading >o<
Sudah beberapa hari sepi. Kutatap nanar sofa kosong di sebelahku. Hembusan napas hangat dari mulutku. Pandanganku kembali ke televisi yang menyala itu. Banyak cara kulakukan untuk menghilangkan bosan ini. Sia-sia.
"Kumohon datanglah..." Gumaman kecil yang pasti tak terdengar olehnya. Aku menutup mataku sejenak. Tak menghiraukan apa yang di tayangkan benda bercahaya itu.
Ting tong~
Aku membuka mataku. Mungkin itu dia. Jadi dengan bergegas aku menuju pintu itu.
"Oh?" Seketika senyumku turun.
"Terimakasih, pizza-nya" Ujarku sambil menyodorkan beberapa lembar uang. Pengantar itu tersenyum dan membungkuk salam lalu pergi. Yang benar saja, aku benar-benar merindukannya.
Tanganku menutup pintu dan berjalan gontai ke sofa. Kududukkan tubuhku dan memasukkan sepotong pizza ke dalam mulutku. Mataku melirik ke ponselku yang tergeletak. Kuraih dan membuka pesan yang masuk. Kosong. Kapan kau akan datang lagi.
Segera kuhabiskan pizza itu dan mematikan televisi. Aku melangkah malas ke dapur, mencari sesuatu yang bisa menyegarkan kerongkonganku. Jus apel yang masih tersegel di kotak. Aku bersyukur karena belum kadaluarsa. Setelah dia tak datang, aku hanya diam di rumah. Karena biasanya dialah yang mengantarkanku membeli kebutuhanku. Tapi sekarang tidak.
Aku tak pernah ingin dia pergi. Tapi, kurasa ini memang salahku. Karena kebodohanku. Pelan-pelan cairan bening meluncur bebas di pipiku. Aku merasa bersalah membuatnya memudarkan senyuman. Itu menyakitkan untukku.
Kudengar samar bel rumah yang berbunyi. Aku mendesah malas. Itu pasti pesanan novel yang kupesan. Kebetulan hari ini sampai. Dengan perasaan yang masih di selimuti kacau, kakiku melangkah ke arah pintu -lagi. Dengan malas kutarik gagang pintu itu.
"Hai!"
Mataku membelalak tak percaya. Senyuman itu, membuat mata Indah itu terlihat segaris. Tatapan yang kurindukan. Dan lagi, aku menangis menghambur ke pelukannya. Terdengar tawa kecil darinya.
"Oh ayolah... biarkan aku masuk dulu" Aku melepaskan pelukanku dan membiarkannya masuk ke dalam.
Ia melempar jaketnya dan duduk di sofa. Aku menatapnya gusar. Dia balas menatapku bingung. Ia baik-baik saja seolah tak ada yang terjadi.
"Kau masih marah denganku? Hoseok- ah?" Tanyaku. Dia menggeleng cepat. Meraih tanganku dan mencium lembut punggung tanganku. Ia tersenyum manis.
"Untuk apa aku marah padamu? Aku tak tahan marah lama-lama. Itu menyiksaku" Ujarnya sambil terus menatap mataku yang masih sedikit sembab. Tanpa aba-aba air mataku terjun lagi. Raut wajahnya cemas, kedua tangannya beralih menangkup wajahku dan menyeka air mataku.
"Uljimaseyo..." Aku mengangguk dan mencoba tersenyum lebar. Dia pun ikut tersenyum menampakkan deretan giginya yang rapi.
Tanganku ditarik mendekatinya. Menyuruhku duduk di atas pangkuannya. Tubuhku menghadap ke arahnya. Dari jarak ini bisa kucium harum parfumnya yang nyaman dihirup. Matanya menatap mataku lembut. Menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga.
"Aku masih marah sebetulnya" Aku menahan napas. Apa benar? Kukira dia tak marah lagi. Baru beberapa menit yang lalu dia bilang tidak marah.
"K-kenapa.. bukannya tadi kau.."
"Sstt.." ia meletakkan telunjuknya di depan bibirku yang otomatis terdiam.
Dia tersenyum hangat. Mengelus Puncak kepalaku sayang. Bisa kurasakan tangan kekarnya membelai halus pipiku. Wajahnya kini mendekat. Menyisakan jarak beberapa cm dariku. Ia menyentuhkan hidungnya ke hidungku. Napasnya yang harum menyapa penciumanku.
"Biarkan seperti ini. Aku marah jika sehari saja tak bisa mendengar suaramu. Ini memang terdengar berlebihan. Tapi, aku takut merindukanmu sangat." Alisku menyatu. Bingung apa yang barusan dikatakannya.
"Apa maksudmu-" Bibirnya menempel singkat di sudut bibir kananku. Tidak tepat di bibir. Ia sedikit menjauhkan wajahnya. Matanya menatapku penuh arti.
"Kau tahu? Besok dan beberapa minggu kedepan, aku tak bisa menemanimu seperti ini selalu. Kau pasti juga akan pulang ke tanah airmu kan? Mungkin beberapa Bulan lagi kita bertemu." Dia menghela napas. Tepat di depan wajahku. Tanganku yang semula memegang lengannya ku arahkan ke atas pundaknya. Melingkari leher jenjangnya.
"Lalu kenapa?" Tanyaku sambil menyunggingkan senyuman. "Kau takut aku akan selingkuh, hm?"
"Tidak. Hanya saja.. di luar sana pasti banyak pria yang lebih tampan dariku. Kau itu cantik, sayang." Kurasakan pipiku panas. Mungkin sekarang sudah seperti tomat yang siap dibuat saos. Dia barusan mengucapkan kata sayang. Oh tidak, aku sangat membenci panggilan itu. Dia mencubit pipiku gemas. "Oh ayolah.. kenapa kau merona seperti itu?" Ujarnya sambil terkekeh pelan.
"Aku.. belum terbiasa dengan panggilan tadi." Dia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum geli.
"Benarkah? Kalau begitu kau harus membiasakannya." Dia mengeluarkan smirk yang sudah lama tak kulihat. Terkadang pria satu ini benar-benar akan menunjukkan sisi dirinya yang sedikit 'dirty'. Itu membuatku muak dan harus memukul atau mencubit pipinya. Membuatnya merajuk tapi imut di mataku.
Aku langsung beranjak dari pangkuannya. Posisi itu membuatku lelah. Apa dia tidak keram. Kupikir berat badanku naik. Huft.
"Aku berat kan?" Tanyaku sambil berdiri di depannya. Dia menggeleng. Lalu mengangguk. Dasar.
"Biarlah, aku suka. Tambah berat badanmu, kau juga tambah—aw!" Sebelum dia melanjutkan ucapannya, lebih baik sebuah jitakan kuat di keningnya. Membuatnya meringis lalu cengengesan. Aku sudah menebak isi otaknya.
"Jangan bicara vulgar padaku sebelum kita menikah." Ujarku, dengan nada yang kubuat serius. Dia mengangguk sambil tersenyum manis. Menarik tubuhku ke pelukannya.
"Uh uh.. maaf. Setelah kita menikah, aku bahkan bisa melakukan lebih dari ini." Katanya. Aku menggertakkan gigi kesal. Kucubit perut kerasnya. "Aw! Iya-iya.."
"Jika masih kau ucapkan dirty talk, akan kupukul dengan panci." Ancamku sambil menjauhkan tubuhku.
"Heheh. Oke, sayang" Ucapnya sambil tersenyum lebar. Pipiku panas lagi.
Setelah ini, aku akan menyiapkan panci untuk menjaga ucapannya yang membuatku serangan jantung mendadak. Dia yang menyebalkan, tapi aku sayang.
Next—

KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINE BTS
FanfictionTidak apa-apa jika ingin membaca, hanya saja diharapkan memperhatikan kondisi fisik dan mental. Imajinasi yang begitu tinggi dapat menyebabkan jantung berdebar kencang, timbul rasa ingin memiliki, serta pahitnya kenyataan yang tidak bisa dihindari...