Part 36

1.7K 89 0
                                    

Sunyi. Satu kata yang dapat menggambarkan suasana malam ini.

Tania duduk di teras rumahnya dengan ditemani buku tebal yang berisi kiat-kiat memasuki perguruan tinggi negeri. Tania membaca soal demi soal lalu menjawabnya. Tapi ditengah pengerjaan soalnya, Tania kehilangan mood-nya. Tania pun lalu menutup buku tersebut.

Tania menyapu pandangan ke sekitarnya. Hanya desiran angin yang dapat ia dengar. Kendaraan pun sepertinya enggan untuk melintas. Tania menatap ke arah langit malam, langit itu semakin menggelap saja. Mungkin akan hujan, pikir Tania. Setelah merasa keadaan diluar semakin dingin, Tania memutuskan untuk kembali memasuki rumahnya.

Sania dan juga suaminya sekarang sedang duduk di ruang televisi. Tania pun lalu menghampiri kedua orangtuanya.

"Gimana? Sudah selesai belajarnya?" tanya Sania ketika Tania mendudukkan dirinya di sofa sampingnya.

Tania hanya mengangguk lalu bersender pada sandaran sofa. Entah mengapa mood Tania pada malam ini sedang tidak bagus.

"Kapan tesnya?" tanya Ayahnya.

"Minggu depan, Yah." jawab Tania singkat.

Setelah itu, Tania mengecek kembali ponselnya. Tapi tidak ada notifikasi apapun. Padahal setengah jam yang lalu Tania mengirimkan pesan kepada Adit, tapi tidak ada balasan apapun.
Akhir-akhir ini memang Adit jarang menghubungi Tania. Ketika Tania mencoba menghubunginya tidak ada juga respon dari sana.

Tania masih bisa maklum akan hal itu. Karena waktu itu Adit pernah bilang kalau ia sedang sibuk latihan band bersama Beni dan juga Zio.

Tania lalu berpikir. Sekarang aja sudah mulai susah dihubungi, apalagi kalau nanti jadi ldr-an?

***

Saat ini Beni, Zio, serta Adit sedang berada di sebuah kafe yang sering mereka kunjungi. Alunan musik klasik di kafe ini mengalun dengan indah. Sehingga membuat para pengunjung merasa nyaman.

Mereka pun lalu mengobrol tentang bagaimana nanti penampilan band mereka dan segala hal.

"Lo yakin mau melibatkan Caca dalam hal ini?" tanya Zio dengan nada yang meragukan.

Adit memutar bola matanya malas. "Yakin lah. Emang kenapa sih kalian nggak setuju?" tanya Adit.

"Bukannya nggak setuju. Tapi lo tau sendirilah waktu itu kejadiannya gimana." ujar Beni menyahut pembicaraan.

"Tapi kan dia udah minta maaf. Lagian kita nggak ada vokalis cewek, mangkanya gue usulin tuh Caca. Secara suara dia kan lumayan bagus," jawab Adit lalu ia duduk di sofa samping Beni. "Kalau aja nggak diperluin vokalis cewek, gue juga malas melibatkan Caca dalam band ini."

Memang waktu itu, Pak Anton memberitahu bahwa, "lebih baik jika band kalian mempunyai vokalis cewek."

Setelah itu, Adit dan yang lainnya bingung harus memilih siapa yang akan menjadi vokalis ceweknya.

Beni menoleh kepada Adit. "Tapi kan, lo tau kan kalau Caca suka sama lo?" tanya Beni dan dijawab anggukan oleh Adit. "Bisa-bisa dia ngambil kesempatan dari sini. Kasian Tania kalau nanti lo ditikung Caca." ujar Beni panjang lebar.

"Lo ngomong apa sih. Ngaco deh lo."

"Ye lo dibilangin mah gitu. Serah lo deh. Yang penting lo siap-siap jaga hati aja deh." sahut Zio.

Adit pun menautkan kedua alisnya tidak mengerti akan pembicaraan kedua sahabatnya tersebut. Namun ia hanya membiarkannya saja tanpa meminta penjelasan lebih lanjut.

***

Caca meraih ponselnya yang berdenting tanda ada sebuah notifikasi masuk. Ia memekik senang saat melihat bahwa Adit mengiriminya sebuah pesan singkat yang berisi,

From Adit : Ca, lo mau nggak masuk ke band kita untuk tampil nanti. Soalnya band gue lagi nyari vokalis cewek.

Caca pun langsung membalas pesan tersebut dengan senyum yang terus mengembang. Ia langsung menyetujui tawaran Adit. Kapan lagi bisa nyanyi bareng Adit? pikir Caca.

Caca pun tidak akan menyiakan kesempatan ini. Ia akan menggunakan dengan sebaik-baiknya kesempatan ini agar ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

Caca akan berusaha lebih dan lebih untuk terus mendapatkan hati Adit. Entah bagaimanapun jalannya.

***

Tania terkaget saat melihat siapa yang berdiri dihadapannya sekarang. Dihadapannya kini, Adit berdiri dengan membawa sebuah bungkusan berisi bakso.

Tania menatap Adit heran. Daritadi pesan Tania tidak dibalas dan malah sekarang orangnya sudah berada disini.

"Nih buat lo." ucap Adit sambil memberikan bungkusan tersebut.

Tania menaikkan alisnya, "tumben malam-malam gini lo kesini?" tanya Tania.

"Habis dari kafe biasa. Terus gue mau main lah kerumah lo." jawab Adit sambil menyengir lebar.

Tania hanya tersenyum tipis. "ya udah. Gue mau manasin dulu baksonya. Duduk dulu sana." perintah Tania sambil menunjuk kursi terasnya.

Tania lalu masuk ke dalam untuk memanaskan baksonya. Sementara Adit duduk di kursi teras rumah Tania.

Adit memandang sekitarnya. Semuanya terasa sunyi. Tiba-tiba ponsel yang berada di sakunya bergetar, Adit lalu menjawab panggilan itu.

"Halo?"

"Halo, Adit. Gue mau kok jadi vokalis di band lo."

"Ooh. Yaudah. Besok mulai latihan pulang sekolah."

"Oke. Gue siap kok latihan terus asal sama lo."

Adit pun enggan menjawab lagi dan langsung mematikan ponselnya. Adit menatap ke arah depan dan tiba-tiba ada siluet hitam berdiri di sebrang pohon sana. Saat Adit menatap intens siluet itu akhirnya siluet orang itu pun hilang. Dan Adit seperti familiar dengan bayangan itu.

"Lo lihat apaan sih? Serius amat." tanya Tania ketika melihat Adit memandang sebrang jalan dengan serius.

"Nggak. Itu tadi kayak ada bayangan di bawah pohon sana. Pas gue tatap dia, bayangannya hilang."

Tania mengangguk paham lalu duduk disamping Adit. "Yuk makan baksonya."

"Itukan buat lo."

"Lo nyicip kan boleh."

"Ya deh. Lo duluan makan."

Tania dan Adit tidak sadar, jika ada seorang laki-laki berperawakan tinggi sedang memperhatikan mereka dari kejauhan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dengan ekspresi penasaran dan mata yang menyiratkan kecemburuan.

------------------
Vote and commentnya.
Makasih. :)

When Your Heart Talk [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang