Bisakah aku merasakan cinta yang sesungguhnya?
Author's POV
"VAVA?!" Dion kaget saat menemukan Rara yang tergeletak di samping ranjangnya. Ia segera berlari tuk menolong Rara.
Darah.
Darah terus mengalir dari tangan Rara.
'Kenapa lo mau bunuh diri Va' Airmata Dion menggenang saat ia menemukan pisan kecil disamping tangan Rara yang terus mengucurkan darah segar.
Dion panik lalu segera menggendong Rara dan membawannya ke rumah sakit.
"Bertahan Va, please demi gue" lirih Rara. Dion melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Perasaannya begitu berkecamuk, ia tidak menyangka bahwa sahabatnya begitu terkurung dalam masa-masa yang sulit. Dan bodohnya ia tidak ada disaat sahabatnya ini membutuhkannya.
Dion segera meminta tolong pada petugas IGD untuk menangani Rara. Hatinya tak tenang. Dion terus mondar-mandir menunggu dokter yang menangani Rara keluar. Seberat apapun masalahnya, Rara tidak pernah melakukan hal segila ini.
'Dia beneran pengen mati kali ya' batin Dion. Ia tak habis pikir kenapa Rara bisa lepas kendali seperti ini, ini benar-benar bukan seperti Rara yang ia kenal.
Tangannya bergerak untuk menelfon Tristan, tapi tiba-tiba ucapan Ina kemarin mengingatkannya.
Tristan memutuskan Rara.
"Ah sh*t gue lupa. Cowok kurang ajar, br*ngs*k" umpat Dion. Dia kecewa, benar-benar kecewa. Dulu ia yakin jika Tristan pasti akan selalu menjaga Rara, tapi ternyata asumsinya itu jauh dari kata benar. Lagi-lagi Dion harus menderita dalam penyesalannya. Penyesalan yang datangnya selalu diakhir, tanpa bisa diperbaiki.
Dion mencoba menelpon nomor rumah Rara dan menanyakan mengenai ibu Rara. Namun, Bi Sari mengatakan bahwa Luxiana belum pulang dan ponselnya tidak bisa dihubungi.
Rara yang malang. Dion menghela nafasnya berat. Ia duduk dengan wajah tertunduk, malu pada dirinya sendiri. Saat ia butuh, Rara selalu ada untuknya. Namun saat Rara dalam keadaan seperti ini, Dion malah tidak ada disampingnya. Apa yang harus ia katakan saat bertemu Rara nanti.
Pintu IGD terbuka dan menampilkan seorang dokter berjas putih keluar lalu menghampiri Dion.
"Permisi, kamu keluarga dari pasien?"
"Saya sahabatnya, Dok. Saya yang bawa dia kesini. Gimana keadaannya? Dia gak apa-apa kan? Dia gak mati kan?" Tanya Dion bertubi-tubi.
"Tenang, dia tidak apa-apa. Namun sekarang kondisinya masih kritis karena banyak darah yang keluar. Hampir saja pasien kehabisan darah. 4 jam kedepan pasien bisa dipindah keruang inap. Kalau keluarganya sudah datang, tolong segera mengurus administrasi" jelas Pak Ridwan selaku dokter yang menangani Rara.
Dion sedikit lega mendengarnya, ia menganggukan kepalanya dan berterima kasih pada Pak Ridwan.
Dengan ragu Dion melangkahkan kakinya dalam ruangan yang kini Rara tempati. Bau obat menyengat menusuk indera penciumanya. Dibukanya tirai biru yang memisahkannya dengan Rara.
Hatinya mencelos. Kakinya mendadak lemas, dengan perlahan ia mendekati Rara yang terbaring lemah dengan beberapa macam selang infus yang menancap pada tubuh mungilnya.
"Vaa" panggilnya lirih.
Airmata Dion jatuh begitu saja, ia tak sanggup melihat orang yang bagitu disayanginya kini harus merasakan luka yang begitu dalam.
"Maafin gue Va. Gue bodo banget, super bodo. Gue orang paling bodoh di dunia ini. Ini semua gara-gara gue. Harusnya gue ada disisi lo, nemenin lo, kasih semangat ke lo. Tapi gue malah jadi orang bego, ninggalin lo dan malah percaya sama cewek lain. Gue goblok banget, gue gak tahu kenapa gue bisa segoblok ini" maki Dion pada dirinya sendiri.
"Ssjjjrrott" Dion menarik ingusnya yang telah meler dan hampir menetes.
"Gue bukan sahabat yang baik buat lo. Ternyata semua yang lo ucapin bener, Ina gak tulus sama gue, dia sama sekali gak tulus sama gue. Parahnya, dia manfaatin gue biar lo lebih menderita"
Dion menggenggam ringan tangan Rara.
"Cepet sadar, gue kangen banget sama lo" Dion menunduk dalam.
★✩★✩★✩★✩★✩★✩★✩★✩
"Hah?! Kok bisa sih? Sekarang dia di rumah sakit mana? Sama siapa? Gimana keadaannya?" Rentetan pertanyaan keluar bagitu saja dari mulut Alvin ketika tahu jika Rara kini berada dirumah sakit.
Bi Sari menjawab semua pertanyaannya dengan sabar. Tidak dapat dipungkiri jika Bi Sari pun kini cemas dengan keadaan Rara, apalagi ditambah dengan keadaan keluarga yang belum sepenuhnya terselesaikan. Bi Sari tahu betul setiap malam Rara menangisi ayahnya yang telah meninggalkan dunia. Hatinya pun ikut pilu mendengar tangisan tertahan dari mulut Rara. Ia hanya bisa berdoa agar Rara selalu diberi kekuatan oleh Tuhan sehingga dapat melewati situasi yang begitu berat ini.
"Makasih ya Bi, saya berangkat kesana dulu ya" ucap Alvin sambil mengenakan helmnya.
"Iya Den, hati-hati"
Alvin mengangguk lalu melajukan motornya secepat-cepatnya.
'Ra bertahan please' doanya dalam hati.
✩★✩★✩★✩★✩★✩★✩
"Rara masuk rumah sakit" beritahu seorang gadis pada seorang pemuda di depannya.
Sejenak raut muka kaget dan khawatir muncul dari wajah pemuda itu, namun sedetik kemudian ia kembali memasang wajah datarnya. Ia kembali menyesap kopi pahit bertujuan untuk menenangkan perasaannya, namun hal itu tak berhasil. Ia tetap gelisah.
"Tris, mau sampe kapan sih lo kayak gini? Lo munafik, lo bohongin diri lo sendiri! Gak guna, semua yang lo lakuin cuma diem, uring-uringan, nyalahin diri sendiri, bodo tau gak. Kak Narinka pun pasti gak akan bahagia di atas sana kalo lo tetep kayak gini. Gue udah capek nasehatin lo, semua yang gue katain gak lo anggep sama sekali. Udah, ini terakhir gue ngomong. Pokoknya lo harus nyamperin Rara di rumah sakit, minta maaf sama dia. Gak masalah dia maafin atau gak" marah Alin, dadanya naik turun menahan kemarahannya. Ia tidak menyangka sepupunya bisa menjadi orang yang paling keras kepala.
"Kenapa lo ngurusin gue? Mending lo pulang ke Bandung, jangan mikirin gue" ucap Tristan santai lalu menyalakan sebatang rokok.
"Gak sebelum lo minta maaf ke Rara" baru saja Tristan akan menghirup rokoknya, namun tangan Alin dengan sigap mengambil rokoknya lalu menginjaknya.
"Lin berhenti ganggu gue" marah Tristan.
"Gue gak akan berhenti Tris. Lo sekarang lagi frustasi, kalo gue pergi lo bisa aja bunuh diri"
"Lo pikir otak gue sedangkal itu ha?"
"Iya, otak lo dangkal banget, udah deh jangan nyangkal lagi. Gue tau lo masih sayang sama Rara. Lo cowo bukan sih? Gengsi lo udah kek cewe aja" ejek Alin lalu ia pergi meninggalkan Tristan sendirian.
Tristan menghembuskan nafasnya kasar, ia mengalami konflik antara hati dan pikirannya. Sungguh dari dalam hatinya ia masih benar-benar mencintai Rara. Tapi gengsinya menghalangi dirinya tuk mengatakan perasaannya yang sesungguhnya.
"Gue sayang sama lo Ra" lirih Tristan.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
27 - 12 - 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Roman pour AdolescentsKenapa selalu aku yang tersakiti? Kenapa selalu aku yang menderita? Kenapa aku yang harus tersisihkan? Dan kenapa aku bisa mencintaimu? Valerinsya Fradella Bracley - "Seharusnya aku tak pernah mengenalmu". Tristan Alaric Dixon - "Maafkan aku, tapi a...