Author's POV
Tuk. Tuk. Tuk
Ketukan bertempo cepat terdengar samar oleh tamu yang dilaluinya.Sudah tak peduli lagi dirinya, ia menulikan telinganya. Seakan hanya hatinya yang berbicara dan ketukan high helsnya yang mengartikan bahwa dirinya ingin segera menjauh, menjauh dari pemandangan yang menggerogoti hatinya dengan membawa sakit hingga menusuk kedalam hati kecilnya.
Langkahnya membawa pada lorong toilet yang panjang dan sedikit sepi. Sesekali sesengukan yang ditahannya berhasil lolos dari mulutnya, hingga menimbulkan tanda tanya dari beberapa orang yang berpapasan dengannya. Air matanya pun tanpa sungkan keluar dan menampakkan dirinya.
LADIES
Tulisan tersebut terpampang menandakan ia telah di depan toilet wanita, baru saja kakinya akan melangkah lebih jauh lagi. Seseorang dengan kurang ajarnya menariknya kebelangkang serta membekap halus mulutnya.
Bisa saja Rara terjengkang kebelakang kalau saja orang itu tidak memeganginya.
Tentu saja Rara memberontak, masih ada saja yang mengganggunya pikirnya begitu. "Aaaaa lepas" teriak Rara dengan mulut dibekap.
"Ssst sst" Rara masih saja memberontak dengan air mata yang bercucuran.
"Lepasin" "Sst Ra, ini gue sst" Rara yang sepertinya kenal dengan suara tersebut perlahan menghentikan aksi memberontaknya. "Lepasin ish"
"Iya iya gue lepasin tapi jangan teriak" perlahan orang tersebut melepas bekapannya pada Rara. Segeralah Rara membalikkan badannya menghadap orang asing tersebut.
"A-alvin?" suara tergagap karena tangisannya.
"Iya ini gue, udah gak usah banyak tanya. Ayo ikut gue" Alvin menarik tangan Rara lembut. Rara pun masih dengan sesenggukannya menurut mengikuti Alvin.
Alvin membawanya masuk kedalam sebuah pintu yang sepertinya banyak tidak dihiraukan orang karena warna pintunya yang hampir sama dengan warna dinding. Namun pertanyaannya, untuk apa Alvin membawanya kemari.
Terlihatlah beberapa anak tangga di balik pintu tadi. Alvin tetap menariknya dan menaiki anak-anak tangga. Dan pintu terakhir berwarna hitam legam berdiri kukuh di depan mereka, dibukanya oleh Alvin dan mereka melewati pintu itu.
Rara menatap lingkup sekitarnya, langit gelap menyelelimuti dan angin malam menusuk jantungnya. Tempat mungkin seperti balkon dari Caffe ini, namun masih tertata rapi dengan beberapa kursi panjang di dalamnya.
Tempat yang benar-benar sesuai dengan hatinya.
Alvin masih menarik Rara, kini ia menariknya menuju kursi panjang yang jelas langsung menghadap langit gelap dengan beberapa bintang menghiasi, sepertinya awan mulai mendung pikir Rara.
"Udah, curahin aja semua isi hati lo. Gue yakin ini tempat yang pas banget sama kekacauan hati lo saat ini"
Rara menatap lurus kedepan, angin dengan lancang menerbangkan beberapa helai anak rambutnya, sehingga ia terlihat begitu cantik. Namun tidak dengan hatinya yang kacau balau saat ini.
Perlahan air mata Rara kembali turun membasahi pipi chubbynya, dengan lama-kelamaan disusul dengan sesenggukan dari mulutnya. Tangannya menutupi mukanya dan bahunya naik turun menandakan ia benar-benar sibuk dalam tangisnya.
Alvin juga hanya menatap lurus kedepan, ia tahu jika kejadian ini akan terjadi. Namun percuma semua penringatan yang ia berikan pada Rara, Rara tetap tidak menggurbisnya, yah seperti inilah akhirnya.
Alvin menarik nafasnya dalam berusaha tuk menghilangkan perasaan sesak dikala ia mendengar tangis Rara yang semakin memilu. Sungguh pilu dan menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.
Apalagi tangisnya hanya untuk orang bejat seperti Tristan, pikirnya.
Tapi tetap saja dirinya tak berani mencegah Rara menangis, hanya untuk Tristan. Ia tahu, Tristan sangat berarti untuknya.
"Gu-gue salah apa sih?" ucap Rara lirih dengan sesenggukannya.
Alvin menoleh pada Rara tuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Rara selanjutnya. "Gue ga-gak tahu apa-apa V-Vin. Ke-kenap-pa dia te-tega sama gue?"
Alvin merapatkan dirinya dengan Rara, merangkul pundak Rara mungkin yang hanya bisa ia lakukan.
"Gue tulus sa-sama dia. Beneran tu-tulus hiks hiks" pilunya.
Mata Alvin memerah menahan tangis menatap gadis yang dicintainya tersakiti dan benar-benar jatuh dalam lubang yang begitu dalam dan menyakitkan. Perlahan diletakkannya kepala Rara diatas pundaknya.
Tangan Rara mengepal begitu erat sampai telapak tangannya memerah. Akan sakit saat dilihat orang lain, namun kini sakit dihatinya melebihi sakit itu.
"Nangis aja sepuas yang lo mau, gue ada disini" kata Alvin menenangkan
"Ke-kenapa satu orang pun gak ngerti perasaan gu-gue? Gu-gue capek Vin" keluh Rara dengan nafas yabg sudah sesak tak beraturan.
Alvin mengarahkan wajah Rara menghadap padanya dan menghapus air mata Rara yang mulai mengering dengan ibu jarinya.
"Gue tahu, gue disini, gue ada buat lo, lo gak sendiri. Sejatuh apapun lo, gue adalah orang pertama yang akan menopang lo, dan lo harus percaya itu" ucap Alvin mantap dengan menatap kedua manik mata Rara. Ucapan yang sungguh melegakan disaat seseorang benar-benar jatuh. Rara melihat jauh dalam mata Alvin, tak ditemukannya keraguan. Dan Rara beruntung akan itu.
Senyum kecil ditorehkannya hingga berhasil masuk dalam memori Alvin. Sekecil apapun senyum itu, Alvin adalah orang pertama yang mendapatkannya disaat Rara terpuruk seperti ini.
"Makasih, udah ada disini buat gue. Maafin gue yang gak percaya sama semua peringatan lo. Bahkan gue malah bentak-bentak lo. Maafin gue" mohon Rara menyesal karena perbuatannya tempo lalu. Betapa sakit hatinya Alvin saat itu dan lagi-lagi ia beruntung karena Alvin masih sudi menghiburnya.
"Udah santai aja kali, gue tulus kok. Lo udah baikan? Kalau udah gue anterin pulang"
Rara menghapus sisa-sisa air matanya. Kini matanya terlihat begitu sembab dan lelah. Dengan yakin ia mengangguk pelan dan bangkit dari duduknya.
"Gue pastiin lo gak akan papasan sama Tristan"
Rara mengangguk dan tersenyum miris. Sungguh dalam lubuk hatinya ia tidak menyangka jika Tristan akan melakukan hal ini padanya.
Rara mencintai Tristan.
Hanya itu yang ia tahu.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Happy reading guys :)
Maafkan kalau ada typo karena aku gak cek._.
Keep waiting yaa💕Regards,
Bernicke14 - 08 - 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Teen FictionKenapa selalu aku yang tersakiti? Kenapa selalu aku yang menderita? Kenapa aku yang harus tersisihkan? Dan kenapa aku bisa mencintaimu? Valerinsya Fradella Bracley - "Seharusnya aku tak pernah mengenalmu". Tristan Alaric Dixon - "Maafkan aku, tapi a...