BAB 29

2.4K 88 1
                                    

Nyatanya, hatiku telah mati.

Author's POV

Satu minggu lamanya Rara terbaring di atas ranjang rumah sakit, ia telah dipindahkan dalam ruang inap. Dan inilah Rara sekarang, terbujur lemah dengan banyak selang infus yang menancap pada tubuhnya.

Setiap hari Alvin dan Dion menyempatkan waktu untuk menjenguk dan menemani Rara. Ya walaupun awalnya Alvin selalu memusuhi dan menyindir Dion karena sikapnya dulu yang meninggalkan Rara, tak mudah bagi Alvin berjuang untuk Rara yang hanya ada Tristan dan Dion dalam otaknya. Namun, kini mereka sudah damai-damai saja, Alvin dengan berlapang dada memaafkan kebodohan Dion. Tristan? Bodo amat. Dion dan Alvin tidak lagi memperdulikan cowok itu, disekolah pun mereka tak pernah bertemu dengannya. Yang terpenting sekarang adalah kesadaran Rara. Ya, mereka begitu merindukannya.

Keadaan berangsur membaik. Semuanya mulai kembali teratasi, Clement kini mengambil alih perusahaan ayahnya dibantu dengan asisten kepercayaan ayahnya dulu. Ibu Rara juga telah seratus persen mendamaikan dirinya dengan Rara, seratus persen pula ia merelakan masa lalu kelamnya menyangkut dengan anak sulungnya yang telah meninggal tiga tahun lalu, masalah yang sudah lama terjadi namun baru sekarang Luxiana dapat mengikhlaskannya.

Flashback on

"KAK BRYAN! Tolong jemput Rara ditempat kemah dong, udah mau malem. Ini bus-nya gak selesai-selesai mogoknya. Temen-temen Rara juga banyak yang dijemput," suara Rara dari sebrang sana.

"Males ah, Clement aja noh"

"GAK GAK GAK, POKOKNYA KAK BRYAN AJA! Bang Clement tuh kalo nyetir kek tai padet gak kelar-kelar."

"Kalo gue kek apa dong?"

"Kalo lo Kak kek tai encer, lancar. HAHAHA," tawa Rara.

"Kampret lo Dek, ya udah otw ya. Gue sama Clement kesana oke. Tunggu, jangan kemana-mana. Pake jaket kan? Jangan sampe sakit loh ya. Bye Sayangku."

"Oke Kakak Sayang, tiati."

Tuttt.

Kedua kakak Rara segera menjemputnya di area perkemahan. Seharusnya ia naik bus bersama dengan rombongan, tapi teman-temannya banyak yang telah pulang terlebih dahulu, menyisakan dirinya dan segelintir siswa berserta Kakak-Kakak Pembina, ditambah dengan ketidakhadiran Dion karena sahabatnya itu harus ikut acara keluarganya di Bali. Membuatnya semakin tidak betah berada ditempat yang dipijaknya kini.

Kedua kakak Rara telah sampai diarea perkemahan, Rara segera memasuki mobil tumpangan mereka itu. Mereka bertiga menghabiskan waktu dengan mengobrol ringan dan bernyanyi bersama dalam mobil, namun nyatanya cuaca begitu tak mendukung kebersamaan adik kakak itu. Hujan sangat lebat disertai petir yang menyambar sesekali membuat Rara menggigil di jok belakang padahal AC sudah dimatikan. Jalan berkelok-kelok dan licin membuat Bryan sebagai supir memelankan laju mobil mereka.

Tapi na'as, berhati-hati pun jika memang takdir yang mengatakan, mereka bisa apa?

Tiba-tiba truk berlawanan arah dengan kecepatan cukup tinggi menghantam mobil mereka hingga rusak parah terutama pada bagian pengemudi. Diduga sopir truk sedang mengantuk hingga tak sadar menabrak mobil dihadapannya. Mobil Bryan terpelanting jauh lalu menabrak pohon besar.

Rara dan Clement luka parah tapi dapat terselamatkan. Namun Bryan, meninggal. Karena kejadian itu, Luxiana terpuruk dan menyalahkan Rara karena jika Rara tidak menyuruh Bryan menjemputnya, maka hal seperti itu tidak akan terjadi. Sejak itulah keadaan keluarga Rara berubah, yang dulu harmonis menjadi muram. Hanya hitam putih yang mendominasi.

Kejadian itu ditambah ibunya yang mendiami Rara membuat dirinya berubah pula. Sulit bagi Rara untuk tersenyum, ia begitu terpuruk dikala waktu itu.

Flashback off.

Kini yang ditakutkan Dion adalah jika Rara bangun, keadaan akan kembali berubah. Sebagian dirinya berharap Rara segera sadar, namun sebagiannya lagi berharap Rara seperti ini saja. Bukan, bukan maksudnya untuk bahagia karena Rara terbaring dan tak kunjung sadar. Ia hanya takut, saat Rara bangun, Rara tidak bisa menerima keadaan sekarang, keadaan yang bisa saja membuat Rara menjadi pribadi yang lebih menyedihkan. Dan Dion benci akan itu. Saat sadar nanti, Rara akan lebih sendiri, akan sulit untuk bersenda gurau bersama Clement melihat kakaknya itu telah menjabat sebagai pemilik perusahaan.

Ibu Rara pasti akan lebih sibuk lagi mengurus butik yang dirintis bersama ibu Dion satu tahun yang lalu. Sedangkan Dion? Ia tidak mungkin akan bersama dengan gadis itu 24 jam.

Dion menatap prihatin tubuh Rara yang semakin mengurus dengan wajah yang semakin tirus dan memucat. Ia begitu merindukan terbitnya senyum dari wajah itu. Sahabat tersayangnya.

Otaknya memutar saat-saat ia mempertemukan Rara dengan Tristan. Ia tidak menyangka bahwa Tristan akan melakukan ini kepada sahabatnya, sungguh ia mengira jika Tristan adalah pilihan yang tepat untuk Rara, namun itu adalah kesalahan yang besar. Sungguh besar. Tidak terlarut dalam penyesalannya, Dion keluar dari kamar inap Rara untuk pulang kerumahnya sebentar.
●.●.●.●.●.●.●.●.●.●.●.●.●.

Tristan mengendap pelan memasuki kamar inap Rara yang barusaja ditinggal pergi oleh Dion. Ia dari tadi menunggu Dion pergi dibalik dinding dekat ruang tunggu.

Tristan melihat pemandangan yang begitu menyakitkan hatinya, kakinya mendadak lemas dan tak mampu menopang badannya. Lututnya melemah hingga kini ia berlutut. Sungguh sesak memenuhi jiwanya, mendadak pula ia seakan lupa cara bernafas. Separuh hidupnya seakan terenggut dengan paksa. Perlahan Tristan mendekati Rara yang masih betah memejamkan matanya, tangannya bergerak menyentuh wajah Rara yang kian menirus, wajah yang sudah lama tak disentuhnya.

"Raa," panggil Tristan parau, "Ra, bangun Sayang," Tristan menangis, ia menundukkan kepalanya pada ranjang Rara. Menangis sepuas mungkin. Rindu yang selama ini ia pendam terbalaskan dengan rasa sakit yang mendalam.

"Maaf, maafin aku. Aku tau, maaf aja gak akan cukup buat kamu, ngelihat apa udah aku lakuin. Tapi ayo bangun plis," Tristan mendekatkan bibirnya pada telinga Rara dan mulai berbicara, "Ra, ini aku Tristan si cowok brengsek yang udah nyakitin kamu. Aku gak minta kamu mau balik sama aku, tapi plis ayo bangun. Kembali kesini sama kita semua, kita kangen kamu Ra. Bangun buat orang-orang yang udah nunggu kamu, keluargamu butuh senyum kamu lagi. Kamu gak kangen Dion? Dia setiap hari jengukin kamu, rela-relain belajar disini buat ujian. Bentar lagi UN Ra, kamu gak mau nyicil belajar hm? Ayo Sayang bangun, cari jalan keluar, jangan diem disana. Aku tau kamu bisa, kamu cewek terkuat yang aku kenal, kamu gak mungkin nyerah gitu aja kan? Paling nggak demi Mama kamu, demi kakak kamu, demi Dion. Kamu gak perlu liat aku saat kamu bangun, kamu gak usah merasakan sakit lagi setelah bangun. Aku cinta kamu." Air mata Tristan menetes lebih deras. Dikecupnya pelan dahi Rara.

Saat Tristan hendak keluar dari ruang inap Rara, tiba-tiba mata Rara yang masih terpejam bergerak ke kanan dan ke kiri, diikuti dengan jemari Rara yang perlahan bergerak. Tristan kaget lalu segera menekan tombol untuk memanggil perawat.

"Dok, dia sadar Dok. Tangannya bergerak," ucap Tristan yang masih shock. "Iya, sekarang biar kami tangani, Anda bisa keluar tuk menunggu." Tristan pergi menjauh, namun saat ia telah diambang pintu, Tristan melihat sekilas bahwa mata Rara terbuka. Dia sadar.

Tristan tersenyum tipis lalu meninggalkan rumah sakit. Melihat Rara yang telah sadar sudah sangat cukup baginya, ia tak mau lagi menyakiti Rara. Sudah cukup.

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Happy new year semua, semoga di tahun baru ini kita jadi pribadi yang lebih baik yaa💙.

7-01-2017

Why Me? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang