Author's POV
Rasa sakit itu..
Tetap
Masih
Sangat
Membekas.
Rara duduk terlamun menatap luar jendela. Wajahnya pucat dengan bibirnya yang kering, sungguh bagaikan mayat hidup seperti di film-film yang kita tonton.
Mengerikan.
Hanya bedanya, kita tak lihat luka atau cucuran darah. Karena lukanya menggrogoti batin dan hatinya, jauh lebih sakit dari apa yang kita bayangkan.
Tak ada formula untuk menyembuhkannya.
Tak ada obat penawar.
Entah apa yang bisa dilakukan untuk membuat seorang Valerinsya kembali. Kembali menjadi seorang yang ceria dan hangat kepada semua orang.
Nyatanya semua bukan mimpi, hatinya sama. Tetap mati.
Tapi semua masih terdengar jelas hingga membekas dihatinya. Suara itu, jelas suara orang yang dicintainya sekaligus menyakitinya. Rara yakin seratus persen, suara itu yang membawanya untuk mencari jalan keluar hingga akhirnya ia menemukan setitik cahaya yang ditujunya hingga ia bisa sadar seperti sekarang.
Suara Tristan? Mungkinkah?
※●※●※●※●※※●※●
"VAVAKK!! Ututututu.. Akhirnya cayangku sadar juga, lo tahu gak sih gue kangen banget sama lo. Lo bikin gue khawatir karena gak bangun-bangun. I miss you so bad, girl," teriak Dion heboh ketika baru sampai kamar inap Rara, segera saja ia mendekap tubuh Rara. Setelah dihubungi oleh pihak rumah sakit mengenai kesadaran Rara, Dion segera menancap gas kemari, hatinya membuncah bahagia sekaligus haru karena kini sahabatnya telah kembali terbangun dari tidur lamanya.
"Oh"
"Kok cuma oh sih balesnya? Lo masih marah ya sama gue? Va, gue tahu gue salah. Gue gobloknya kebangetan emang, sorry gue udah gak percaya sama lo. Malah percaya sama orang lain, gue nyesel," ucap Dion sendu masih dengan memeluk Rara.
Rara mendorong Dion pelan tuk menyudahi pelukan mereka. Ditatapnya Dion lembut. Mana mungkin ia bisa marah lama-lama pada sahabat satu-satunya ini, sejahat apapun perlakuan Dion padanya, ia tak kan mampu membenci sahabat kecilnya ini. Apalagi Dion telah minta maaf seperti ini, lihatlah matanya sudah berkaca-kaca.
"Paan sih lo, Yon. Santai aja, gak apa-apa lagi. Gue seneng lo udah sadar sama kesalahan lo, yang dulu lupain aja. Gak usah diungkit-ungkit, lain kali lo kalo cari cewek yang bener lah. Jangan cuma liat tampangnya doang, hatinya tuh yang penting," nasehat Rara dengan suaranya yang masih serak.
"Gue takut banget kehilangan lo. Pas liat lo gak sadar, rasanya gue bener-bener hampir kehilangan lo, Va. Jangan berbuat macem-macem lagi ya. Gue tahu masalah lo sekarang berat. Tapi gue janji, gue akan selalu disisi lo. Gue akan jadi penyemangat lo, sekali lagi maafin gue. Gue gak ada disaat lo butuh gue."
"Kumat deh alaynya," Rara terkekeh kecil.
"Iya-iya gue janji gak akan berusaha bunuh diri lagi. Gue cuma kalut aja waktu itu, sekarang gue udah tenang karena ada lo yang bakal semangatin gue yeyy," kata Rara dengan senyum yang tak lepas dari bibir pucatnya.
Dion mengacak rambut Rara gemas. Sahabatnya ini tiba-tiba begitu ceria, padahal sebelumnya ia berfikir jika Rara akan menjadi pribadi yang penyendiri dan pendiam. Sebenarnya, Dion sedikit curuga dengan sifat Rara saat ini, seperti terlihat dipaksakan? Ayolah, ia sudah mengenal Rara sangat lama, mana mungkin ia tidak tahu jika Rara tengah menyembunyikan sesuatu darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Teen FictionKenapa selalu aku yang tersakiti? Kenapa selalu aku yang menderita? Kenapa aku yang harus tersisihkan? Dan kenapa aku bisa mencintaimu? Valerinsya Fradella Bracley - "Seharusnya aku tak pernah mengenalmu". Tristan Alaric Dixon - "Maafkan aku, tapi a...