Bab 22 - Yang terbaring di sana

5.6K 500 32
                                    

Darah ini sudah mengering. Muka Raizal begitu panik ketika melihat bekas darah mengenai baju seragam Fara bagian belakang. Ia tidak tahu kenapa Fara bisa sampai seperti ini. Beberapa menit yang lalu, tiba-tiba Fara datang ke rumah sakit. Duduk di lorong rumah sakit dan menunggu Raizal tanpa sepengetahuannya. Raizal benar-benar terkejut ketika melihat Fara berada di sana. Ia langsung berlari ke arahnya dan memergoki Fara yang sudah seperti ini. Menangis tanpa bisa berhenti.

"Fara...?" Raizal memegang kedua bahunya, mencoba untuk bertanya kepada Fara. Tapi Fara hanya menggeleng. Yang bisa Fara lakukan hanyalah menangis hingga kemudian langsung memeluk tubuh Raizal. "Kenapa kamu bisa seperti ini?" Melihat Fara yang terus seperti ini, akhirnya Raizal mengajak Fara ke dalam ruangannya. Menyuruh Fara duduk dan memberikan secangkir teh hangat untuk menenangkannya.

"Aku mohon jangan paksa aku untuk hidup sebagai Alin." Ucapnya. Dan kini Fara menatap Raizal dengan tatapan sendu. Ada kesedihan yang terpancar jelas di kedua sudut bola mata Fara. Ada rasa putus asa ketika ia mengucapkan kata itu. Hidup sebagai Alin telah membuatnya sangat menderita.

Raizal hanya melenguh panjang. Menatap Fara lekat-lekat sebelum akhirnya dia ikut duduk di samping Fara. "Tapi itu satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sebelum kita mendapatkan petunjuk tentang semua ini." Ucap Raizal.

Fara menggeleng. "Tidak. Aku tidak bisa." Dia kemudian menyentuh kepalanya bagian belakang. Menunjukkan kepada Raizal tentang luka yang ia dapatkan. Menceritakan kepada Raizal tentang pembulian yang baru saja ia alami hingga membuat kepalanya terbentur seperti ini. Mereka benar-benar keterlaluan, bahkan semakin hari mereka semakin berani. Fara tidak sanggup jika setiap hari dia sekolah dan kembali meladeni mereka.

Raizal menatap Fara dengan tatapan getir. Ikut merasakan tekanan yang Fara alami. "Aku mohon, Raizal. Aku sudah tidak sanggup lagi." Sekali lagi Fara memohon. Meminta belas kasihan Raizal untuk mengabulkan permintaannya.

Hingga akhirnya Raizal merasa iba. Ia kemudian menghembuskan napas panjang sebelum dia mengangguk menyetujui apa permintaan Fara. "Baiklah," ucapnya.

"Terima kasih, Raizal."

Raizal mengangguk. "Biar aku obati kepalamu dulu." Raizal kemudian bangkit. Mencari antiseptik, dan beberapa peralatan lainnya untuk mengobati Fara. Ya. Biarkan kali ini Fara merasa tenang. Melihat Fara yang terus-terusan seperti ini, Raizal benar-benar tidak tega.

Setelah Raizal mengobati luka Fara, kini Fara kembali sendirian. Duduk di dalam ruangan ketika Raizal meminta Fara untuk menunggunya sebelum mereka pulang. Ada beberapa pekerjaan yang harus Raizal selesaikan. Memeriksa pasien di setiap bangsal dan Raizal tidak bisa menundanya.

Ditinggal sendirian oleh Raizal, Fara merasa jenuh. Ia kemudian keluar dari ruangan untuk mencari udara segar. Matanya menyapu saat dia berhasil keluar. Tapi hanya lorong-lorong sepi yang membuat Fara bergidik ngeri.

Kenapa Raizal memilih ruangan di tempat seperti ini? Batinnya. Ruangannya terletak di paling pojok. Dan harus melewati lorong yang panjang untuk sampai ke ruangan lainnya. Fara kemudian berbalik, membatalkan niatnya. Sepertinya, menunggu adalah pilihan yang terbaik dari pada Fara harus melewati lorong-lorong sepi dan mengerikan seperti itu.

Tapi sebelum Fara melangkah, Fara seperti merasakan sekelebat bayangan. Membuat Fara menoleh seketika, tapi anehnya, Fara tidak menemukan apa-apa. Membuat dahi Fara mengerut karena sepertinya, Fara yakin kalau tadi ia melihat bayangan hitam berada di ujung lorong sana.

Bulu kuduk Fara tiba-tiba berdiri. Ia masih mengamati ujung lorong itu. Ujung lorong yang gelap dan jalan menuju perempatan bangsal-bangsal. Fara sedikit melenguh. Fara berani bersumpah kalau tadi ia benar-benar melihat bayangan yang berdiri di sana. Tapi hanya butuh waktu satu detik, tiba-tiba bayangan itu menghilang.

Ketika Aku MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang