Bab 39 - Karma

1.8K 278 17
                                    

Pagi menjelang. Waktu berjalan dengan sangat cepat. Saat ini, Raizal masih duduk di ujung lorong rumah sakit. Menemani bunda Aini dan berusaha menenangkannya karena sedari tadi ia menangis. Meratapi nasib Alin yang bisa menjadi seperti itu.

Dan untuk yang kesekian kalinya, terdengar teriakan lagi. Alin yang berada di dalam ruangan menjerit-jerit histeris. Saat dia sudah siuman setelah obat penenangnya memudar di dalam tubuh Alin.

"Ya Tuhan, Alin." Bunda Aini meremas kedua tangannya. Merasa iba sekaligus merasa kasihan dengan keadaan Alin di sana. "Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Kenapa Alin terus-terusan seperti itu? Dan kenapa matanya..." Bahkan, bunda Aini tidak berani melanjutkan kata-katanya. Bayangan akan tatapan mengerikan itu berhasil membuat bulu kuduk bunda Aini meremang saat membayangkannya.

"Tenanglah, bunda. Alin sudah ditangani oleh dokter." Ucap Raizal. Terus menenangkan bunda Aini yang kini kebingungan melihat keadaan Alin. Menatap ke dalam ruangan lewat kaca jendela kamar perawatan ini.

Alin berada di sana. Para petugas medis bahkan kewalahan menghadapi kondisi Alin yang seperti itu. Terpaksa mengikat seluruh tangan dan kakinya pada sudut-sudut tempat tidur serta memasang kembali infus karena mengandalkan asupan makanan dari sana. Karena sejak kemarin, Alin bahkan belum makan sama sekali.

Jeritan Alin masih terus terdengar. Sementara dokter yang ada di dalam juga terlihat kewalahan menangani kondisi Alin. Memeriksanya lalu beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar perawatan itu.

"Bagaimana, dokter...?" Tanya bunda Aini. Buru-buru menghampiri dokter itu saat ia keluar dari dalam kamar perawatan Alin.

Tapi, dokter itu hanya menghela napasnya satu kali. Memandang ke arah Raizal dan juga bunda Aini. Melihat lagi ke arah kamar perawatan Alin lewat jendela kaca. Masih menjerit-jerit histeris dan tidak menunjukkan adanya kemajuan sama sekali. "Sepertinya, saya bukan orang yang tepat untuk menjadi dokter untuk Alin. Secara fisik dia sehat-sehat saja, tetapi secara psikis..." Dokter itu ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

Dan dahi bunda Aini mengerut. Tidak mengerti arah pembicaraan dokter ini. Mulai merasa takut dengan apa yang sebenarnya menimpa Alin. "Tetapi apa dok....?"

"Dari ciri-ciri perilakunya dia mengalami tekanan mental yang cukup berat. Dan rumah sakit seperti ini bukan tempat yang cocok untuk mengobati Alin. Tetapi rumah sakit jiwa." Ucap dokter itu lagi.

Dan bunda Aini langsung lemas seketika. Tubuhnya terhuyung dan langsung ditangkap seketika oleh dokter Raizal. "Bagaimana ini...? Alin tidak mungkin gila." Sementara itu, mulut Raizal kaku. Tidak bisa berkata apa-apa lagi.

***

Raizal melewati lorong demi lorong rumah sakit dengan gontai. Memijat kepalanya yang terasa sangat sakit bahkan seperti ingin meledak. Setelah semua misteri ini dapat terungkap, masalah apa lagi yang akan datang menghampiri mereka?

Ia kemudian duduk di kursi lorong rumah sakit. Meremas kepalanya sendiri karena setelah ini, pasti banyak hal yang perlu ia selesaikan. Mulai dari Alin, kelanjutan hidup Fara, dan identitas Tea yang perlu pengungkapan.

Lagi-lagi Raizal menghela napas. Menatap pintu ruang ICU yang ada Fara di dalam sana. Secara tidak langsung, Raizal sudah terlanjur terlibat. Dan Raizal, sudah berjanji pada gadis itu untuk menyelesaikan semua masalah ini. Sudah terlanjur menaruh hati pada gadis itu. Dan yang Raizal inginkan hanya lah, ketika Fara bangun nanti, tidak ada hal yang perlu Fara cemaskan lagi.

Raizal kemudian berdiri. Mengusap mukanya yang tampak kacau lalu melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam kamar di mana Fara dirawat. Menggunakan masker serta jas pelindung lengkap, ia kemudian menghampiri gadis itu.

Dan ternyata, Fara menantinya. Membuka mata dan sedikit tersenyum menatap ke arah Raizal. Menahan rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya saat menunggu Raizal. Lumayan sangat lama karena tadi Raizal tiba-tiba pergi meninggalkan Fara untuk membantu bunda Aini untuk mencari Alin.

"Istirahat lah, semua sudah baik-baik saja." Ucap Raizal. Mengusap dahi Fara untuk menyuruhnya istirahat kembali.

Fara mengangguk. "A-Alin?" Tanya Fara kemudian.

"Iya. Dia baik-baik saja." Raizal terpaksa berbohong. Ia takut akan membuat Fara khawatir.

Fara bernapas lega. Memejamkan matanya satu kali lalu menatap ke arah Razial lagi. "T-Tea...?" Tiba-tiba Fara mengatakan nama itu. Entah kenapa nama itu tiba-tiba muncul begitu saja di dalam kepalanya. Memandang ke arah Raizal dengan tatapan sendu.

"Tea...?"

Fara mengangguk. "Aku b-bermimpi..." Ucap Fara. Berusaha menggerakkan mulutnya yang masih sakit dan mengatakan apa yang ada di dalam mimpinya itu kepada Raizal.

"Bermimpi...?"

Dan lagi-lagi Fara mengangguk. "Saat kecelakaan itu." Fara masih berusaha. Menggerakkan bibirnya yang masih terasa sangat sakit. "D-dia mencoba menolongku." Dan tiba-tiba Fara menangis. "Dia meninggal."

Raizal lalu berdiri. "Semua sudah baik-baik saja, Fara. Semua baik-baik saja." Raizal berusaha menenangkan. Mengelus-elus kepala Fara agar tangisannya segera berhenti. "Itu bukan kesalahanmu." Ucap Raizal lagi. Menatap ke arah Fara yang terlihat tampak sangat menyesal. Mencium kening Fara dan terus meyakinkan Fara bahwa sepenuhnya bukan kesalahan Fara.

Fara kemudian menatap Raizal. Menyuruh Raizal untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi yang tidak ia ketahui. Fara hanya merasa mimpi yang baru saja ia alami terasa begitu nyata. Merasa bahwa dirinya dan juga Tea terhubung satu sama lain. Sama seperti Fara yang juga terhubung dengan Alin.

Awalnya Raizal ragu-ragu. Tetapi akhirnya Raizal mau menuruti permintaan Fara. Menceritakan semuanya kepada Fara hingga membuat Fara menangis tersedu-sedu menyesali semuanya.

Hal yang perlu Fara renungkan untuk kejadian ini adalah, karma ternyata sangat lah nyata. Karma, berjalan dengan sangat sempurna. Disaat dulu dirinya menjadi gadis yang teramat nakal dan menganggu Tea. Di kehidupan selanjutnya sebagai Alin, dia lah yang ditindas dan diganggu tanpa ampun.

Mungkin, ini adalah balasan Tuhan. Untuk memperingatkan dirinya bahwa semua perbuatannya di masa lalu itu adalah sesuatu hal yang sangat keliru.

"Tea, maafkan aku..." desis Fara. Hingga kemudian Raizal memeluknya dan mencium keningnya satu kali. Melihat Fara yang tampak sangat menyesal seperti sekarang ini.

***

. Lama banget sih baru bisa update :(

. eh tapi kalok cerita ini aku tawarin ke penerbit bakalan dilirik gag ya... kemaren ada penerbit yang nyari cerita horor tapi aku ragu ngirim..

. Jangan galau... ini berat. Biar aku saja. Kamu gag akan kuat....

***

ig : devinandasari

Ketika Aku MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang