1. Tertahan

232 4 0
                                    


Aninda tersenyum. Ah senyum yang lain dari biasanya, senyum yang aneh sarat makna. Sejak beberapa hari lalu ia berlaku tak seperti hari-hari sebelumnya. Setidaknya itu yang kutangkap saat aku berada di dekatnya.

"Pulanglah, Bram. Sudah malam," katanya.

Aku tak juga beranjak dari rumah mungilnya. Ini bulan ketiga aku melakukan pendekatan pada perempuan yang empat tahun lalu menyandang status janda.

"Sepuluh menit lagi," kataku.

Ia terdiam. Wajahnya tampak lelah dan muram.

"Kamu kenapa?"

Ia menggelengkan kepala.

"Kamu sakit?"

Lagi-lagi ia menggelengkan kepala.

"Pulanglah," ia menyuruhku pergi.

Aku pulang. Kutinggalkan perempuan itu dengan gamang perasaan. Sesungguhnya besar harapku ia menerima kehadiranku, menggantikan sosok pria yang telah meninggalkannya beberapa tahun lalu.

Tito, suami Aninda, adalah kawan karibku di tempat mengaji. Kami sama-sama mengkaji ilmu dii tempat ustad Abu bersama beberapa jamaah lain. Hingga kemudian Tito menikah dan persahabatan kami menjadi renggang. Aninda menenggelamkan suaminya dalam indah pernikahan.

Aku jatuh hati pada perempuan itu setelah suaminya meninggal. Entahlah bagaimana awal mulanya hingga harapku selalu tertuju padanya. Aninda menjadi sekuntum bunga bagi pria yang lama hidup melajang. Aku, Bramantyo, sang pria itu, tergerak untuk menikah saat usiaku di pucuk 47. Pria matang yang secara materi telah sangat berkecukupan. Begitulah kira-kira gambaran diriku.

Sayangnya, tak mudah aku mendapatkan hati perempuan itu. Aninda terlalu keras untuk bisa ditaklukkan. Hingga kini penantianku bersulam kehampaan. Aninda tak pernah menyahut panggilan hatiku.

***

Aku mendengar kabar bahwa Aninda jatuh sakit. Tiga minggu aku kehilangan kontak setelah panggilan tugas datang padaku. Aku mengikuti pelatihan di negeri kincir angin selama dua bulan.

Sakit Aninda memaksaku kembali ke tanah air. Kujumpai perempuan itu dalam keadaan tergolek tak berdaya di sebuah rumah sakit.

"Aninda..."

Ia menoleh, tersenyum tipis.

"Cepat sembuh, Aninda. Aku ingin segera menikahimu."

Ia hanya tersenyum, tanpa sepatah kata pun.

Aku menunggui Aninda selama beberapa hari. Kondisi perempuan itu tak kunjung membaik. Hingga suatu malam, adik kandung Aninda yang menemaninya di kamar rawat selama ia sakit tergopoh-gopoh menemuiku. Aku tengah duduk di luar kamar saat itu.

"Mbak Ninda... Mbak Ninda..!"

Aku berlari mengikutinya. Seorang perawat berlari menyusul kami.

Kantung mataku terasa berat menyaksikan keadaan perempuan itu. Panas badannya sangat tinggi. Ia meracau tak henti-henti.

"Dokter Didi..."

Sebuah nama meluncur dari bibirnya. Aku diam terpaku. Dokter Didi... siapa gerangan pria itu?

Pukul sembilan pagi... aku dikejutkan dengan kedatangan seorang pria. Ia memasuki kamar rawat Aninda dengan langkah tergesa-gesa.

"Assalamu'alaikum...."

Ia mendekati ranjang Aninda. Berdiri membungkuk, mengucapkan kata-kata di telinganya. Aninda masih terbujur tanpa daya. Matanya tertutup, bibirnya terkatup. Panas badannya masih sangat tinggi.

"Bu Aninda... saya Dokter Didi..." Pria itu mengulangi kalimatnya.

Aku terkesiap. Kusaksikan bibir Aninda bergerak. Matanya mulai terbuka.

Pria itu kembali berbicara. Mata Aninda benar-benar terbuka.

"Dokter... Dokter Didi...."

Keharuan menyelimuti suasana. Pria itu tersenyum. Ia memberikan banyak nasehat dan pesan bijak.

"Jangan banyak pikiran ya, Bu? Jangan lupakan Allah, bagaimana pun keadaan Ibu..."

Aninda mengangguk.

"Sakit Ibu insya Allah akan menghapus dosa-dosa Ibu. Tetap berbaik sangka pada ketetapan Alllah."

Aninda kembali mengangguk.

"Dokter...."

"Ya, Bu..."

Aninda tak meneruskan kalimatnya. Ia menatap pria di hadapannya. Lama, tanpa sepatah kata.

"Ibu, saya pamit dulu. Saya harus ke rumah sakit."

Aninda mengangguk. Ia melepas kepergian dokter Didi dengan tatapan lekat hingga langkah kaki pria itu menghilang di balik pintu.

***

Aku tetap menunggui Aninda hingga malam ini. Besok pagi-pagi buta rencana aku ke bandara untuk kembali ke negeri Belanda.

Jarum jam menunjuk angka dua belas. Sudah larut malam. Aku menuju masjid untuk sholat sunah dan beristirahat. Tiga puluh menit di sana, aku dikejutkan dengan dering handphone.

"Mba Ninda kritis," Lita, adik kandung Aninda, meneleponku.

Aku bergegas menuju Anyelir, ruang rawat di mana Aninda berada selama ini.

Aku tiba di kamar rawat saat kusaksikan Lita dan beberap kerabat menangis terisak. Langkahku terhenti. Seorang suster menutup muka Aninda dengan kain putih. Aku tersentak. Aninda???

Persendian kakiku terasa lemas. Aninda telah meninggal dunia...

***

Pria itu ada di sana, di pemakaman Aninda. Raut wajahnya diselimuti duka.

"Pria itu... adalah pria yang dirindukan Mbak Aninda," kata Lita.

Kami duduk bersama dalam satu kendaraan usai pemakaman Aninda. Hatiku berdesir mendengar ucapan Lita.

"Mbak Ninda sangat mencintai pria itu. Ia bahkan berandai-andai menjadi istri kedua."

"Dokter Didi sudah beristri?"

"Ya, tapi belum berputra."

Aku terus menyimak obrolan Lita dan salah satu saudara kandungnya.

"Cinta Mbak Ninda luar biasa besarnya. Bahkan dokter Didi menjadi inspirasi novel-novelnya."

"Apa yang membuatnya jatuh hati pada dokter tersebut?"

Lita diam sejenak.

"Dokter Didi pria yang baik dan relijius. Ia mengingatkan Mbak Ninda pada mendiang suaminya."

Pembicaraan terhenti. Tak terasa kami telah tiba kembali di rumah duka.

Aku pulang. Kutinggalkan rumah duka Aninda. Kucintai seorang janda dari mendiang sahabat karib, tapi cintaku tertahan di langit-langit. Ia lebih mencintai dokter yang merawatnya, meski cinta itu pun tertahan di atas pusara...

Aninda menyerah setelah kanker, hipertiroid dan pembengkakan jantung riuh menyerang fisiknya...***

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now