Seharusnya, aku bisa menikmati masa – masa remajaku. Seharusnya, aku bisa tertawa atau mengobrol bersama dengan para sahabatku. Seharusnya, aku bisa seperti gadis lain. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. Aku tidak bisa menikmati masa remajaku. Aku tidak bisa tertawa atau mengobrol bersama dengan para sahabatku. Aku tidak bisa seperti gadis lain.
Entah sudah berapa lama, aku duduk disalah satu bangku kafe bercat hijau tosca dengan suasana yang nyaman dan rindang. Tanganku terus saja memetik senar gitar yang ada dipangkuanku dengan lembut. Aku benar – benar tidak mengerti nada apa yang aku mainkan sekarang. Yang aku rasakan kini, hanya satu hal. Hampa.
Ding Dong Ding Dong Ding Dong!
Pandanganku beralih ke ponsel yang kuletakan di atas meja. Aku dapat melihat nama ‘Irena’ disana. Well, dari sekian orang yang mulai menjauh dari aku yang selalu bersikap cuek, hanya dia yang masih dekat denganku sejauh ini. Dia bahkan tidak memberi tatapan iba saat – Entahlah, aku tidak ingin membahas hal itu lagi. Irena merupakan gadis yang sangat ceria menyenangkan, walau terkadang suka bersikap childish dan bisa dibilang juga kalau dia adalah sahabatku.
“Hallo?” ucapku ketika mengangkat telepon dari Irena.
Aku diam beberapa menit sambil sedikit menjauhkan ponselku dari telinga karena suara nyaring Irena. Ya, Irena memang memiliki suara yang luar biasa nyaring. “Galiiiiiiii, gue mau ke rumah lo. Sebentar lagi gue sampe. Bye!”
Aku mendenguskan napasku kesal. Dasar anak itu, kenapa selalu berbuat sesuka hatinya. Untung saja, aku tidak ikut Mama ke luar kota. Kalau iya, habislah dia menunggu di teras rumahku. Aku menyeruput Chocolate Blizz – ku seraya merapikan gitar dan buku – buku yang tergeletak di atas meja. Aku harus cepat sampai rumah sebelum mahkluk yang satu itu memporak porandakan rumahku.
“Mbak Gali mau pulang?” tanya seorang pelayan yang memakai pakaian bernuansa putih hitam dengan ramah.
Kalian mungkin heran kenapa Tya, pelayan café itu mengenalku. Hmm, bisa dibilang aku merupakan pelanggan tetap café ini. Hampir tiap ada waktu senggang, aku ada disini hanya untuk memesan Chocolate Blizz dan memetik senar gitarku seraya menulis nada – nada baru yang aku temukan di buku musikku. “Iya nih, teman aku udah nunggu. Duluan ya!” ucapku akhirnya.
“Hati – hati ya, Mbak!” pesannya. Tya tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Aku menggendong raselku dan membawa gitarku, kemudian berjalan ke arah pintu keluar setelah tersenyum tipis pada Tya. Dengan gesit, aku melangkahkan kakiku menuju rumahku. Aku tidak boleh terlambat kali ini.
***
“Gali, itu kenapa sih ceritanya sad banget yah? Harusnya Romeo sama Julietnya bersatu, mereka kan cocok banget.”
Aku hanya memasang wajah datarku. Ternyata Irena melakukan hal yang lebih buruk daripada memporak porandakan rumahku. Setelah aku sampai rumah, ia sukses menarik dan menahanku untuk menemani film romance yang menggelikan. Sebenarnya aku menyukai film romance dulu, tapi sekarang tidak. Entahlah, minatku terhadap film itu tiba – tiba dipicu oleh beberapa hal dan menyebabkan aku tidak suka dengan film bergenre itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate Blizz
Teen FictionMagali tidak percaya dengan yang namanya 'Cinta'. Ia selalu menganggap hal itu hanya ada di ftv atau di film - film yang suka ditonton sahabatnya. Namun bagaimana kalau ada makhluk tampan seperti Zio yang tiba - tiba...