Shock. Itulah yang pertama kali aku rasakan saat pertama kali menjejakkan kaki di Bandara yang terletak di Kolkata. Aku memang pernah mendengar keadaan Bandara disini yang begitu berantakan, tapi aku tidak pernah membayangkan akan seburuk ini.
Para calo berjalan hilir mudik menawarkan paket pariwisata yang menggiurkan. Mulai dari harga yang murah hingga harga yang mahal dengan bahasa yang sama sekali tidak kumengerti. Untung saja, Zio cepat menarikku dari kerumunan calo yang melihat kami (aku – Zio – Irena – Gio) sebagai sasaran empuk.
Seperti mengerti bahasa tubuh Zio, aku, Irena dan Gio mengikuti Zio dari belakang hingga kami sampai keluar Bandara. Jika kalian berpikir gampang mencari pintu keluar, kalian salah besar. Mungkin dengan menutup mata, kalian akan tahu dimana letak pintu keluar. Tetapi tidak disini. Bandara ini sangat padat, banyak wisatawan dan calo berkeliaran. Belum lagi bahasa yang mereka lontarkan membuatku bingung dan pusing dalam sekejap. Ditambah lagi, sulit sekali bertanya pada petugas di Bandara karena kosakkata bahasa inggris mereka benar – benar sangat terbatas. Kami bahkan memerlukan waktu dua puluh menit untuk menemukan pintu keluar dan bernapas lega, walaupun masih ada saja calo yang nekat mengejar kami dan menawarkan produknya.
“So, kita akan kemana?” tanya Zio kemudian mengatur napasnya kembali.
Aku tersenyum menatap wajah tampan Zio. Kemudian berkata, “Kamu akan tahu nanti.”
Seperti dugaanku, alis Irena terangkat mendengar jawabanku. “Are you crazy? C’mon, Gali, sebenarnya ada dimana?” keluhnya.
“Kita masih ada di Kolkata. Kita akan naik kereta besok dengan untuk sampai ke Dhaka,” jelasku.
Irena mendengus kesal. “Kenapa kita nggak langsung ke Dhaka aja sih? Nggak pake transit dulu gitu? Capek tau!” keluhnya lagi.
“Heh, lo jadi cewek bawel banget sih. Sadar nggak sih suara lo itu cempreng banget. Hampir aja gendang telinga gue pecah karena dengar suara lo,” omel Gio pada Irena yang memanyunkan bibir merahnya.
“Mau marah kek, nggak kek. Itu bukan urusan lo,” tandas Irena.
“Please deh, gue pusing kalau harus dengar kalian berantem sekarang, mendingan kalian diam dan melanjutkan perjalanan,” ungkap Zio bijak.
Dapat kulihat ekspresi lelah di wajah Zio. Aku tidak menyangka dia akan selelah ini hari ini. Ini semua pasti karena kebodohanku membuat trip sesukaku dan membuat Zio seperti ini. Betapa bodohnya kau, Gal!
Setelah menjernihkan pikiranku, aku menghentikan taksi yang melintas di hadapanku dan mengajak yang lain untuk masuk ke dalamnya. “Ayo, aku rasa kita butuh yang namanya ‘hotel’” seruku dan berhasil membuat mereka masuk ke taksi.
Dalam hitungan detik, taksi melaju menuju tempat tujuan kami. Untung saja aku sudah memesan kamar lebih awal. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Karena jujur saja, kepalaku masih pening karena bahasa aneh yang di lontarkan orang – orang tadi. Tuhan, semoga liburan kali ini benar – benar menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate Blizz
Teen FictionMagali tidak percaya dengan yang namanya 'Cinta'. Ia selalu menganggap hal itu hanya ada di ftv atau di film - film yang suka ditonton sahabatnya. Namun bagaimana kalau ada makhluk tampan seperti Zio yang tiba - tiba...