Walaupun jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, mataku tetap menolak untuk memejamkan mata. Ini benar – benar sangat aneh. Tidak biasanya aku seperti ini. My little lili. Tiga kata itu terus berputar di kepalaku. Perlahan tapi pasti, luka itu bangkit. Luka yang sudah lama kupendam.
Pandanganku menatap langit – langit kamar. Dengan ragu, aku mengangkat tanganku seperti seseorang yang sedang menolak sesuatu. Membiarkan cahaya dari lampu kamarku masuk dari sela – sela jariku. Ya, seperti ini. Ia mengajariku melakukan seperti ini untuk menenangkan pikiranku. Dan selalu berhasil, tapi kali ini berbeda. Bukannya merasa tenang, aku malah merasa ada lubang di hati ini dan membuka lembaran demi lembaran baru tentangnya.
“Lily!”
Suara itu menggema di gendang telingaku dan membuatku menoleh. Bibirku melengkung sempurna ketika melihat sosoknya yang sedang berlari di kearahku. Laki – laki itu memiliki tubuh tegap, alis tebal dan tatapan jenaka. Dengan tergepoh – gepoh, ia membawa gitar kesayangannya ke arahku.
“Kamu udah nunggu lama?” tanyanya lagi.
Kepalaku menggeleng. Kemudian berkata, “Aku baru datang kok.”
Tangannya mengenggam tanganku erat. “Ayo, kita berangkat!” ajaknya semangat. Aku mengangguk sambil tersenyum. Kaki kami terus melangkah menjauh dari halte tempat kami bertemu sambil diselingi gelak tawa dan candaan menyenangkan. Dia memang berjanji mengajakku ke suatu tempat. Sesuai dengan yang ia katakan, aku pergi ke tempat itu sekarang.
Setelah dua jam kami menghabiskan waktu diperjalanan. Kami tiba di tempat tujuan. Tepat di sebuah jalan yang sepi dan dipenuhi ilalang. Sungguh, aku tidak pernah menyangka dia akan mengajakku kesini. Kukira kejadian seperti ini hanya ada di film, tapi nyatanya aku merasakannya. Ia membuatku merasakannya.
Tanpa henti, aku memuji tempat ini. Sungguh, ini adalah momen yang langka dan berharga, sangat sulit untuk dilupakan. Dengan cepat, aku mengeluarkan handycam kesayanganku dan mencoba merekam yang ada disini. Sedangkan, dia kembali membimbingku menerobos ilalang liar tersebut. Kami merebahkan diri ditengah ilalang tersebut sambil menatap langit biru. Kalau bisa, aku ingin waktu berhenti seketika.
“Raka!” panggilku.
Dia menoleh ke arahku. Kemudian berkata, “Ada apa?”
“Kenapa kamu ajak aku kesini?” tanyaku heran. Tidak biasanya ia seperti ini. Selama empat tahun bersama, jarang sekali ia mengajakku jalan – jalan seperti ini.
Pandangan Raka kembali ke langit yang dilihatnya, matanya terpejam, kedua tangannya menopang kepalanya dan senyum kembali terlihat di bibirnya. “Nenangin diri?” ucapnya menggantung.
Well, mungkin saja ia ingin menenagkan diri setelah sibuk belajar untuk ujian dan sebagainya. Umur kami memang berbeda, dia dua tahun lebih tua dariku. Namun begitu, itu bukanlah masalah yang berarti. Yang penting aku merasa aman dan nyaman dengannya. Itu saja sudah cukup bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate Blizz
Ficțiune adolescențiMagali tidak percaya dengan yang namanya 'Cinta'. Ia selalu menganggap hal itu hanya ada di ftv atau di film - film yang suka ditonton sahabatnya. Namun bagaimana kalau ada makhluk tampan seperti Zio yang tiba - tiba...