Mataku masih sangat sayu kini. Bayangkan saja, aku harus bangun pagi – pagi sekali tadi. Sebenarnya itu merupakan hal yang biasa kalau mengingat aku terbiasa bangun pagi di Jakarta. Tapi yang menjadi masalahku adalah aku baru tidur jam satu malam karena aku baru sampai di asrama. Ini semua karena Gio yang keras kepala ingin membimbing kami untuk ke Dhaka, alhasil kami malah tersesat dan menunggu panitia volunteer menjemput kami di tempat antah berantah itu.
Sama sepertiku, wajah Irena, Zio dan Gio pun sebelas duabelas denganku. Ngantuk. Hey, aku benar – benar lelah sekarang. Tidak bisakah kami libur kini? Aku benar – benar merindukan kasurku sekarang.
“Wake up, sleepyhead!” ucap pria yang tidak kukenal sambil pengetuk pelan kepalaku.
Tentu saja, kepalaku menatapnya dengan tatapan bingung dan heran. Itu karena aku merasa asing dengan orang ini. Bahkan aku merasa, aku tidak pernah mengenal orang ini sebelumnya.
“Cepat mandi atau kau tidak akan mendapat jatah makanan!” ucapnya tegas kemudian berjalan menjauh dariku.
Sedangkan aku tetap duduk di kursiku, mencoba menahan kantukku. Sungguh aku tidak ingin beranjak dari tempat ini. Aku benar – benar ingin tidur!
***
Seperti yang dikatakan orang asing tadi, aku tidak mendapatkan jatah sarapan karena kesiangan. Beruntung aku tidak jadi naik angkutan umum karena masih sempat menaiki jemputan ke tempat yang akan kami tuju. Dan rasanya benar – benar tidak enak. Saat mataku masih ingin tidur, perutku memberontak ingin makan. I hate Monday!
“Aduh Li, nggak kuat gue lapar banget gue!” keluh Irena yang tengah duduk disampingku.
Masih dengan mata yang setengah tertutup, aku menimpali, “Lo pikir lo aja yang lapar? Gue juga lapar. Mana ngantuk lagi.”
“Ini semua gara – gara Gio, coba aja tuh anak nggak maksa pengen jadi pemandu perjalanan kita. Nggak akan gini nih ceritanya,” seru Irena sewot.
Seperti tiang listrik, Gio menimpali apa yang diucapkan Irena. “Ya gue tahu kalau gue salah, lo biasa aja kali. Gue kan udah minta maaf. Lagian Magali sama Zio udah maafin gue.”
“Tapi kan gue belom maafin lo.”
“Bodo. Siapa lo? Kenapa harus nunggu lo maafin gue, huh?”
Astaga, sepertinya pagi ini adalah hari sialku. Ternyata deritaku tidak sampai situ, sekarang bahkan aku malah mendengarkan Irena dan Gio yang bertengkar dengan hebatnya
“Eh, lo bisa pada diam nggak? Kasian cewek gue pusing dengar hal yang nggak penting kayak gini,” tegur Zio.
Hahaha, Zio. Aku memang tidak salah memilih pangeran berkuda putihku. Ya itu adalah Zio. Buktinya saja tanpa aku bicara, ia sudah mengerti apa yang aku rasakan. Benar – benar perhatian!
Dapat kulihat Irena dan Gio kembali diam, tangan mereka sibuk dengan handphone mereka masing – masing. Dan kalau dilihat dari ekspresinya, mereka masih kesal satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate Blizz
Teen FictionMagali tidak percaya dengan yang namanya 'Cinta'. Ia selalu menganggap hal itu hanya ada di ftv atau di film - film yang suka ditonton sahabatnya. Namun bagaimana kalau ada makhluk tampan seperti Zio yang tiba - tiba...