Seperti hari – hari sebelumnya, aku bangun dengan mata yang setengah terbuka. Walaupun sudah tiga hari berlalu, aku masih tetap tidak terbiasa dengan hal ini. Ini benar – benar membuatku frustasi. Bangun dengan setengah jiwa yang masih tertinggal di dunia mimpi bukanlah hal yang menyenangkan.
Aku duduk di salah satu bangku dekat kamar mandi. Menunggu para siswi lain mandi. Ini merupakan hal yang paling aku benci disini. Bukan apa – apa, tapi aku benar – benar tersiksa dengan hal ini. Kenapa tidak disediakan kamar mandi disetiap kamarnya. Bukankah itu lebih praktis? Berbeda sekali dengan sekarang. Walaupun aku sudah mencoba untuk bangun pagi, tetap saja aku kalah cepat dengan murid lain. Buktinya, aku berada di barisan terakhir untuk mandi.
Mataku berkeliling mencari hal yang cocok untuk dipandangi. Sampai mataku bertemu dengan gadis itu. Marsha. Menurut informasi yang aku dapat, gadis itu bernama Marsha. Ya, Marsha adalah gadis yang aku temui beberapa hari yang lalu. Tapi kini dengan latar yang berbeda. Kalau sebelumnya aku melihatnya di jembatan, sekarang aku malah melihatnya di dekat asrama. Sebenarnya apa yang dilakukan anak itu pagi – pagi buta begini?
Tanpa sadar, kakiku mengikuti langkah kaki Marsha. Setelah beberapa menit, kami sampai ke padang ilalang. Ia berbaring disana dengan tatapan kosong. Kepalanya mendongak ke langit. “Ada apa mengikutiku?” tanyanya dengan suara sedingin es.
Sontak saja aku terlonjak mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir merah jambunya. Aku tidak menyangka kalau gadis ini mengetahui aku mengikutinya dari tadi. Yang aku lakukan kini hanyalah menyengir tidak jelas seraya menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Mencoba mengurangi rasa malu dan canggung yang melandaku.
“Kau tidak punya mulut, huh? Orang bertanya itu untuk dijawab, menyengir bukanlah suatu jawaban,” ketusnya.
Untuk anak seumurannya, bahasa inggrisnya benar – benar bagus. Tetapi kenapa ia menggunakannya untuk bicara sekasar itu pada orang yang lebih tua? Bukannya aku ingin dihormati atau bahkan gila hormat, aku hanya heran dengan sikapnya. Di pertemuan pertama kami, ia meninggalkanku seenaknya. Dan kini ia malah mengatakan aku tidak punya mulut. Tuhan, tolong tabahkan aku untuk menghadapi anak ini.
Aku ikut berbaring disampingnya dan menatap langit yang masih berwarna orange. “Kau membuatku penasaran,” jawabku singkat.
Marsha mendengus kesal. Terlihat sekali kalau ia benar – benar tidak menyukaiku, atau bahkan membenciku. “Kenapa aku membuatmu penasaran?”
“Kau selalu berjalan sendirian, di waktu dan tempat yang tidak pernah kuduga. Aku penasaran apa yang kau lakukan,”
“Bukan urusanmu aku pergi kemana atau melakukan sesuatu.”
“Bagaimana dengan orang tuamu? Pasti mereka khawatir kalau kau pergi jam segini,”
“Sayangnya aku tidak punya orang tua,”
Hatiku terenyuh mendengar ucapannya. Apa yang dia katakan? Tidak punya orangtua? Astaga, ini benar – benar sulit dipercaya. Gadis itu tampak tegar dihadapanku, tidak ada sedikitpun ekspresi sedih ataupun kehilangan di matanya. Yang ada hanyalah tatapan kosong. Apa sebegitu kesepiannya dia disini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate Blizz
Fiksi RemajaMagali tidak percaya dengan yang namanya 'Cinta'. Ia selalu menganggap hal itu hanya ada di ftv atau di film - film yang suka ditonton sahabatnya. Namun bagaimana kalau ada makhluk tampan seperti Zio yang tiba - tiba...