Jilid 1

4.7K 46 0
                                    

Musim dingin belum menyingkir dari daerah utara Gunung Tiang Pek San masih mengenakan mantel salju yang putih bersih. Saat itu fajar mulai menyingsing dan timbunan salju memantulkan kembali cahaya matahari dalam beribu-ribu warna, seakan-akan beribu-ribu permata tersebar di situ.

Suasana tenang-tenteram, damai dan suci seakan-akan hendak mengesankan bahwa dunia ini sungguh indah, bila saja tidak dinodakan perbuatan manusia yang penuh angkara. Tetapi, di sini pun tiba-tiba terdengar mendesisnya sebatang anak panah yang telah dilepaskan dari balik gunung di sebelah timur dan melayang ke tengah angkasa.

Dari bunyi mendesisnya anak panah yang tiba-tiba memecahkan kesunyian dengan cepat lagi nyaring itu, dapat diketahui betapa kuat tenaga orang yang melepaskannya.

Anak panah tersebut dengan sangat tepat menembusi seekor belibis yang sedang terbang bebas. Terbawa anak panah yang menancap di lehernya, belibis itu terjungkal jatuh di atas salju.

Pada saat itu, dari jurusan barat, beberapa belas tombak dari tempat belibis itu jatuh, empat penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Ketika mendadak terdengar mendesisnya panah tersebut, keempat orang itu serentak menahan kuda mereka yang segera terhenti semua

Menampak betapa tepatnya belibis itu dipanah jatuh, tanpa kecuali mereka merasa kagum dan di dalam hati mereka timbul keinginan untuk mengetahui siapakah gerangan pemanah yang tangkas itu.

Akan tetapi, setelah sekian lama menanti dan dari balik gunung itu belum juga muncul orang yang dinantikan, mereka mendengar derap kaki kuda yang lari pesat. Ternyata orang yang ditunggu itu sudah pergi dengan mengambil jurusannya sendiri.

Seorang di antara rombongan penunggang kuda itu bertubuh kurus-jangkung, wajahnya mencerminkan kecerdasan, usianya sudah agak tua. Ia mengerutkan kening demi mendengar pemanah tadi kabur. Segera ia mengeperak kudanya dan menuju ke lereng gunung di sebelah timur, diikuti tiga kawannya

Setelah melewati suatu tikungan, mereka melihat lima penunggang kuda yang sudah agak jauh, mungkin sudah satu li dari tempat mereka. Dari bekas-bekas kaki kuda yang jelas ditinggalkan di permukaan salju dapat dikira-kira betapa cepat lari kuda mereka itu. Teranglah sudah, bahwa mereka tidak mungkin dikejar lagi.

"In suheng, agak aneh juga kejadian ini," kata orang tua tadi sambil mengisyaratkan agar kawan-kawannya menghampiri ia.

Yang dipanggil In suheng ini juga sudah agak tua, tubuhnya agak gemuk, dua belah kumis tebal menghiasi bibirnya dan tubuhnya diselubungi mantel dari kulit tiauw (suatu jenis binatang yang mirip dengan tikus dan kulitnya berharga mahal sekali), lagaknya sebagai saudagar kaya-raya.

Setelah menyaksikan apa yang dilihat si kurus-jangkung tadi, ia menganggukkan persetujuannya atas pendapat kawan itu. Kemudian ia membilukkan kudanya untuk segera dilarikan kembali ke dekat bangkai belibis tadi. Ia mengayunkan cambuknya dan dengan menerbitkan bunyi "taimil" yang nyaring, ia telah mementalkan belibis itu ke atas. Ketika kemudian ia menyabet pula, ujung pecut itu sudah segera melilit bangkai belibis tersebut.

Dengan tangannya yang sebelah lagi ia menyambut bangkai belibis serta anak panah itu yang segera diperiksanya

"Hai!" serunya, sebagai terperanjat.

Mendengar seruan tiba-tiba itu, ketiga kawannya segera mengeperak kuda mereka dan menghampiri si orang she In.

"Whi suheng, coba periksa ini?" seru yang disebut "In suheng" sambil melemparkan belibis serta anak panah itu kepada si kurus-jangkung.

Dengan mudah saja ia ini menyambuti burung yang dilemparkan kepadanya dan memeriksa batang panah itu. Segera terdengar ia berseru juga.

"Eeeh, benar dia, lekas-lekas kita kejari" teriaknya bernapsu. Dengan tergesa-gesa ia membilukkan kudanya dan mendahului mengejar ke jurusan depan.

Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang