Jilid 36

506 13 0
                                    

Ciu Hun Yang mengerti, bahwa untuk mencaci Lauw Goan Ho, paman gurunya harus mendapat bantuan. Maka itu ia lantas saja bertanya, "Susiok, sayang apa?"

"Sayang sungguh, bahwa seorang yang berkedudukan begitu tinggi sebagai 'Gi Cian Si Wi' Lauw Tayjin bisa melakukan perbuatan sebagai seorang pencuri ayam atau anjing." teriaknya.

Lauw Goan Ho tertawa terbahak-bahak. "Tepat sungguh cacian Whi toako!" katanya. "Orang yang malam itu bersembunyi di kolong ranjang Tian Kui Long memang aku sendiri. Tak salah kalau kau mencaci aku sebagai pencuri ayam atau anjing." Berkata sampai di situ, paras mukanya berseri-seri. "Tapi aku mencuri ayam atau anjing, atas perintah Hongsiang (Kaisar)!" ia menambahkan."

Semua orang kaget tak kepalang. Semula mereka anggap Lauw Goan Ho omong kosong, tapi di lain saat, mereka ingat, bahwa memang benar dia seorang si wi, pengawal kaisar dalam keraton, sehingga pengakuannya itu bukan hal yang tidak bisa jadi. Mungkin sekali ia telah menerima firman untuk menghadapi Thian Liong Bun. Orang-orang Eng Ma Coan yang memang berseteru dengan pembesar negeri, tidak menjadi gentar. Tapi para anggauta Thian Liong Bun rata-rata mempunyai rumah tangga dan perusahaan, lebih-lebih In Kiat yang dikenal sebagai hartawan besar dalam propinsi Kwitang dan Kwisay, sehingga tidaklah heran, kalau keterangan Lauw Goan Ho sudah membuat mereka kaget tercampur takut.

Melihat perkataannya sudah berhasil menindih semua orang, Lauw Goan Ho jadi lebih girang lagi. "Sebab keadaan sudah menjadi begini, biarlah aku pun turut bicara." katanya. "Mungkin sekali kalian belum pernah lihat barang ini." Seraya berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah amplop besar yang berwarna kuning dan yang di atasnya tertulis dua huruf, "Perintah Rahasia." Ia membuka mulut amplop, menarik keluar selembar kertas kuning dan membacanya dengan suara nyaring, "Berdasarkan firman Seri Baginda, Lauw Goan Ho, Gi Cian Si Wi kelas satu yang bersenjata golok, diperintah bekerja sesuai dengan siasat yang telah diberikan Congkoan Say." Sesudah membaca, ia meletakkan kertas itu di atas meja supaya semua orang bisa memeriksanya.

In Kiat, To Pek Swee dan beberapa orang lain yang berpengalaman lantas saja mengetahui, bahwa yang menandatangani perintah itu adalah Congkoan (Kepala) dari para si wi, yang bernama Say Siang Gok. Say Congkoan dikenal sebagai ahli silat utama dari suku-bangsa Boan dan sangat disayang oleh Kaisar Kian Liong.

"Whi toako," kata Lauw Goan Ho, "kau tak usah mendelik-delik terhadapku. Kalau mau diceriterakan, asal-mula urusan ini sebenarnya adalah karena gara-garanya suhengmu juga, yaitu Tian Kui Long. Kejadiannya adalah begini, pada suatu hari, Say Congkoan menjamu delapan belas si wi di gedungnya. Oleh sahabat-sahabat, delapan belas si wi ini digelarkan sebagai 'Delapan belas ahli silat yang berkepandaian tinggi dalam istana'. Sebenar-benarnya mereka hanya mempunyai kepandaian pasaran. Mana bisa dinamakan 'ahli silat yang berkepandaian tinggi?' Tapi sebab gelaran itu diberikan oleh sahabat-sahabat yang ingin menempelkan emas di muka kami, maka kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah begitu?

Begitu tiba di gedung Say Congkoan, pemimpin itu lantas saja mengatakan, bahwa hari ini kami akan diperkenalkan dengan seorang tokoh, terkemuka dalam Rimba Persilatan. Kami segera menanyakan siapa adanya pentolan itu, tapi Say Congkoan hanya bersenyum dan tidak mau memberitahukan. Sesudah perjamuan dibuka, ia mengajak seorang pria yang potongan badannya kekar masuk ke dalam. Biarpun rambut di kedua pelipisnya sudah beruban, orang itu, yang berparas sangat tampan, masih gagah sekali. 'Saudara-saudara,' kata Say Congkoan, 'inilah Ciang Bun dari Thian Liong Bun bagian Pak Cong, Tian Kui Long, Tian toako, gunung Thay San atau bintang Pak Tauw dalam Rimba Persilatan.'

Kami agak terkejut. Nama besarnya Tian Kui Long sudah didengar kami. Tapi sebegitu jauh Thian Liong Bun tidak pernah berhubungan dengan pembesar negeri. Entah bagaimana Say Congkoan sudah berhasil mengundang jago itu. Dalam perjamuan, dengan bergiliran kami mengangkat cawan untuk menghormatinya. Tian toako bersikap sangat sungkan. Dengan perkataan-perkataan manis, ia merendahkan diri dan memuji-muji kami. Tapi tak satu perkataan pun keluar dari mulutnya yang menunjuk sebab-musabab dari kunjungannya ke kota-raja. Sesudah selesai bersantap, Say Congkoan mengundang kami ke kamar samping sebelah timur untuk minum teh. Di situlah mereka baru memberitahukan kami tentang maksud kedatangan Tian toako.

Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang