Jilid 9

714 16 0
                                    

Sambil berteriak-teriak mencaci dua anak itu, Co Hun Ki roboh untuk ketiga kalinya. Kali ini lebih keras pula dibandingkan dengan yang terdulu, karena memang bagian tubuh atasnya sedang digentakkannya sendiri ke belakang sedang kakinya di saat itu juga disepak ke depan oleh dua bocah itu.

Demikian keras jatuhnya kali ini, sehingga tulang-tulangnya seakan-akan terlepas berantakan rasanya. Seketika itu ia berdaya untuk bangun kembali, tetapi ia sudah tak punya tenaga lagi, dengan merintih kesakitan ia terlentang kembali di atas lantai. Melihat keadaan suhengnya yang demikian menyedihkan itu, Ciu Hun Jang buru-buru menghampirinya dan memayangnya bangun, hingga Co Hun Ki tidak usah terlentang lama-lama di lantai, menjadi tontonan yang sangat memalukan Thian Liong Bun.

Kesempatan ini telah digunakan kedua bocah itu untuk memungut pedang mereka.

Peristiwa ini ternyata belum akan berakhir sampai di situ saja, dalam malu dan gusarnya Hun Ki menjadi nekat. Dengan wajah muram-menyeramkan, dengan mata merah-melotot, ia mencabut pedangnya sendiri dan tanpa mengucapkan "ba" atau "bu," dengan tipu silat "Pek Hong Koan Jit", ia menikam bocah yang di sebelah kiri.

Pada saat itu Ciu Hun Jang juga menghunus pedangnya. Ia telah melihat, bagaimana berulang-ulang suhengnya telah dipermainkan kedua bocah itu, sehingga tubuhnya penuh tanda-tanda matang biru. Ia sudah mengerti bahwa dua bocah itu, meski masih kanak-kanak, memang sangat lihay dan sukar dilawan. Apalagi seperti tadi mereka berdua mengerubuti Hun Ki seorang. Maka jika ia kini turut maju untuk membantu suhengnya melayani mereka, rasanya ia tidak melanggar aturan.

Segera, setelah menghunus pedangnya, Hun Jang menyerang bocah yang kanan.

Melihat datangnya lawan baru ini, si bocah yang kiri mengisyaratkan sesuatu kepada saudaranya dan dengan bersama-sama mereka menangkis serangan dua orang lawan mereka. Setelah menghalau serangan-serangan lawan itu, mereka melompat mundur berapa tindak dan berteriaklah si bocah sebelah kiri, "Taysu, kami hanya diperintah menyampaikan surat oleh majikan kami, apakah dosa kami terhadap dua Tuan itu, sehingga mereka mendesak kami dengan semau-maunya saja?"

"Mereka hanya ingin meng-uji-uji kepandaian kamu berdua, sama sekali tiada maksud jahat mereka. Coba-coba kamu menemani mereka berlatih," kata Po Si dengan bersenyum.

"Kalau begitu, silakan Tuan-Tuan memberi petunjuk," kata si bocah sebelah kiri.

Sesaat kemudian mereka sudah bertempur dengan serunya.

Semua pegawai dalam rumah itu telah datang semua. Mereka telah mendengar, bahwa dua bocah pembawa surat itu telah bergeberak dengan salah seorang tamu dan mereka jadi kepingin tahu. Beramai-ramai mereka telah datang ke ruangan tamu dan berkerumun di bawah cim che untuk menonton keramaian itu.

Si bocah yang sebelah kiri memegang pedangnya di tangan kiri, sedang saudaranya memegang pedangnya ditangan kanan.Mereka menyerang atau mengelakkan serangan lawan dengan berbareng dengan gerakan-gerakan seakan-akan mereka adalah dua raga yang sejiwa saja. Serangan mereka selalu berantai dan datangnya bertubi-tubi, agaknya seperti juga mereka telah berlatih menggunakan pedang sedari masih bayi. Kerja sama antara mereka sedemikian rapinya, sehingga kelihatannya mereka itu adalah "dwi-tunggal" yang tak dapat dipisahkan- satu dari yang lain.

Sebaliknya dua suheng-tee murid Thian Liong Bun itu juga melayani mereka dengan penuh semangat. Benar-benar seruh mereka bertempur. Setelah sekian lama masih juga belum berhasil, Co Hun Ki maupun Ciu Hun Jang menjadi gemas dan menyerang dengan lebih ganas pula.

Sebentar saja mereka bertempur beberapa puluh jurus, tetapi Hun Ki dan Hun Jang masih belum juga bisa menarik keuntungan. Whi Su Tiong tidak sabar. Di samping itu ia pun menjadi kuatir. Ia melihat, bahwa ilmu dua anak itu adalah ilmu pedang Tat Mo kiam hoat pelajaran Siauw Lim Pay yang tiada keanehannya. Hanya dua anak itu yang memainkannya secara aneh sekali. Jika yang satu menyerang yang lain menjaganya. Dengan demikian yang menyerang itu tidak usah kuatir akan dibokong, sedang saudaranya yang menjaga tidak perlu buru-buru menyerang. Karena itu perhatian mereka jadi tidak usah dibagi-bagi dan sesuatu gerakan mereka jadi sangat leluasa.

Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang