Jilid 8

697 13 0
                                    

Melihat kelakuan orang itu, Po Si bersenyum dingin tetapi ia tinggal diam saja Sesaat kemudian ia memerintahkan agar meja perjamuan tersebut disingkirkan dan para tamu itu diaturnya duduk di sepanjang dinding ruangan tersebut.

Tak lama kemudian — sebelum mereka selesai minum — terdengar teriakan seseorang melaporkan, "Tamu sudah datang!" dan berbareng dengan itu, kedua belah daun pintu depan segera terpentang.

Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, berhenti minum dan memandang keluar, segera juga mereka jadi kecewa, karena yang masuk hanya dua anak tanggung yang berjalan berjajar.

Kedua kacung itu sama tingginya, usia mereka lebih-kurang dua belas atau tiga belas tahun. Kedua-duanya mengenakan pakaian dari kulit tiauw yang putih. Dua kuncir kecil yang diikat dengan pita merah berdiri tegak di atas kepala mereka dan di punggung masing-masing terdapat sebatang pedang.

Dua-dua, mereka beroman sangat cakap dan alis maupun mata mereka seakan-akan lukisan saja. Selain segala itu, wajah mereka seakan-akan pinang dibelah dua saja, sedikitpun tiada perbedaannya. Hanya, jika yang di sebelah kanan menggendong pedangnya agak ke kanan sedikit, sebaliknya yang di sebelah kiri membawa pedangnya pada pundak kirinya, sedang tangannya menggenggam sebuah kotak.

Pemandangan agak ganjil ini yang benar-benar di luar dugaan mereka semua, tak dapat tidak membangkitkan keheranan mereka. Ketika dua anak itu sudah datang cukup dekat, mereka melihat, bahwa di ujung kuncir masing-masing terdapat sebutir mutiara yang kecil tetapi putih-bersih dan berkeredep.

Him Goan Hian adalah seorang PiauwThauw (Pemimpin) suatu piauw kiok ternama sedang To Pek Swee adalah orang yang telah kenyang makan asam garam dalam kalangan rimba hijau (perampok). Maka tak mengherankan, jika mereka lebih mengenal benda mustika daripada kawan-kawan mereka. Segera mereka mengetahui, bahwa dua butir mutiara di ujung kuncir dua kacung itu adalah barang yang sangat langkah dan hati mereka serentak tergoncang.

"Dua butir mutiara itu saja sudah tak terkira harganya, ditambah pula dengan baju kulit tiauw mereka yang putih seluruhnya tanpa ada sedikit juga cacadnya, sungguh-sungguh bukan pakaian yang umum. Bahkan anak-anak orang kaya atau anak-anak orang berpangkat sekalipun belum tentu dapat berpakaian seperti mereka," pikir orang ini.

Dalam pada itu, dua anak itu sudah segera menghampiri Po Si Taysu yang duduk di tengah dan memberi hormat kepadanya. Setelah selesai melakukan peradatan ini, si anak yang di sebelah kiri segera mengangsurkan kotaknya.

Si leher panjang menggantikan tuan rumah menyambut kotak tersebut, untuk segera dibawa menghadap kepada Po Si. Setelah dibuka, ternyata kotak itu tidak berisi apa-apa lagi kecuali secarik surat yang artinya lebih-kurang sedemikian,

"Boanseng, Ouw Hui yang akan menerima pengajaran sesuatu, menetapkan agar pertandingan di puncak yang bersalju ini diadakan tepat tengah hari ini.

Tulisan surat itu sungguh bagus dan dari gayanya dapat dilihat, bahwa penulisnya sudah terlatih sekali menggunakan gaya lio (salah satu model tulisan Tionghoa).

"Ah, ternyata julukannya 'HUI HO" adalah hanya kebalikan namanya "OUW HUI" saja, (jika dieja dalam bahasa Kuo Yu)," pikir Po Si setelah membaca tulisan itu.

Kepada kedua kacung itu ia bertanya, "Apakah majikanmu sudah datang?"

"Majikan muda pasti akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan, hanya karena kuatir, jika majikan rumah ini akan menunggu-nunggu terlalu lama, maka kami telah diperintahkan membawa kabar kemari," jawab si kacung yang di sebelah kanan dengan suaranya yang masih kekanak-kanakan.

"Apakah kamu saudara kembar?" tanya Po Si pula. Agaknya ia tertarik pada kedua anak itu.

"Benar," kata kacung itu dan ia segera memberi hormat pula untuk kemudian berbalik, berdua dengan saudaranya hendak meninggalkan ruangan itu. Tetapi sebelum mereka melangkah keluar, si leher panjang telah coba menahan mereka.

Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang