Jilid 7

742 14 0
                                    

Mendengar penjelasan pegawai berleher panjang ini, agaknya Po Si Taysu bahkan semakin penasaran dan dengan nada mengejek ia berkata, "Jadi kalau lengkap seharusnya, 'Sedari dulu sehingga sekarang menjelayah seluruh dunia tanpa menemukan tandingan'. Di negeri sang Buddha (India) kebetulan terdapat seorang iblis dari agama liar yang menyebutkan dirinya, 'Di atas langit maupun di bumi, akulah rajanya'. Ia dan 'Kim Bian Hud' benar-benar merupakan pasangan yang setimpal."

Ucapan Po Si yang mengandung sindiran ini sangat menggelikan Co Hun Ki yang lantas saja tertawa terbahak-bahak. Melihat kelakuannya, ini, kawan si leher panjang menjadi kurang senang. Dengan mata melotot ia memandang Co Hun Ki. "Harap tuan tamu ini suka berlaku lebih sopan sedikit!" katanya dengan suara gusar.

"Apa?" tanya Hun Ki yang menjadi bingung karena teguran itu.

"Mungkin tuan sendiri yang akan rugi, jika 'Kim Bian Hud mengetahui, bahwa tuan telah mentertawakan dirinya," kata kawan si leher panjang lagi.

Kata-kata ini bukannya membikin Hun Ki takut dan mundur teratur, sebaliknya ia bahkan menjadi semakin kepala batu.

"Ilmu silat belum pernah ada batasnya, di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai lagi. Meski bagaimana 'Kim Bian Hud' juga hanya seorang manusia yang jadinya dan darah dan daging, maka biarpun ia masih sepuluh kali lebih pandai lagi, tak dapat ia disebut tiada tandingannya," bantahnya

Si pegawai masih tetap pada pendiriannya, katanya, "Mungkin aku yang rendah dan berpengetahuan sempit memang keliru, tetapi jika majikanku mengatakan demikian tentunya sudah tidak salah lagi."

Walaupun kata-katanya selalu merendah dan menghormat, tetapi dari sikapnya sudah ternyata bahwa ia tidak menghormati Hun Ki. Tentu saja pemuda yang aseran ini menjadi mendongkol dan di dalam hatinya ia berkata, "Jelek-jelek aku juga seorang Ketua partai yang kenamaan, tak mungkin aku manda dikurangajari seorang hamba yang rendah."

Dalam penasarannya ia berkata pula, "Kalau begitu, di dunia ini, kecuali 'Kim Bian Hud', majikanmu sudah tiada tandingannya juga."

"Mana berani kami mengatakan demikian," jawab si pegawai sambil menepuk sandaran kursi Hun Ki dengan perlahan.

Meski tepukan itu perlahan, Hun Ki merasakan kursinya tergoncang dan seketika itu tubuhnya terpental ke atas. Pada saat itu Hun Ki justeru sedang memegang secangkir air teh, karena terpentalnya cangkir itu jadi terlepas. Agaknya cangkir itu akan segera jatuh hancur di lantai, tetapi dengan gerakan secepat kilat, pegawai itu masih keburu menangkapnya disaat cangkir tersebut hampir menyentuh lantai. Berbareng dengan gerakannya ini, mulutnya mengeluarkan kata-kata, "Harap tuan tamu berhati-hati."

Karena malu dan gusarnya, muka Hun Ki segera berubah menjadi merah padam dan tanpa memperdulikan sindiran pegawai itu ia berpaling ke jurusan lain, sedang si pegawai dengan tenang meletakkan cangkir itu di atas meja.

Po Si Taysu bersikap seakan-akan ia tidak melihat apa yang telah terjadi di depan matanya itu. Ia melanjutkan percakapannya dengan si leher panjang dan bertanya, "Kecuali tiga saudara seperguruannya, 'Kim Bian Hud' dan loolap, majikanmu minta bantuan siapa lagi?"

"Sebelum berangkat, majikan telah berpesan, bahwa Hian Bengcu dari Ceng Cong Pay, Leng Ceng Ki Su dari Kun Lun San dan Chio lookunsu dari Hoo Lam Thay Kek Bun akan datang dalam berapa hari ini dan kami di sini harus menyambut mereka dengan baik. Sekarang ternyata bahwa Taysu telah datang paling dahulu, yang menandakan betapa besar setia-kawan Taysu. Majikan pasti akan sangat berterima-kasih karenanya."

Po Si agak kecewa mendengar penjelasan si leher panjang ini. Tadinya ia mengira, bahwa dengan kedatangannya, segala urusan — betapa sulit juga — akan dapat diselesaikan. Sama sekali ia tidak menduga, bahwa tuan rumah akan mengundang juga sekian banyak tokoh-tokoh kenamaan, yang — meskipun tidak semuanya telah bertemu dengan ia — nama-namanya telah dikenalnya semua. Agaknya tuan rumah itu kurang percaya akan kesanggupannya, ditambah pula dengan kenyataan, bahwa kedatangannya tidak disambut sendiri oleh si tuan rumah atau salah seorang saudara seperguruannya. Karena tidak ada yang ditinggalkan untuk menyambut, maka di dalam hatinya ia mengatakan, bahwa, jika tahu akan begini jadinya, ia lebih baik tidak datang saja. Jauh-jauh ia sudah memerlukan datang untuk membantu, tidak tahunya ia kini harus mengalami perlakuan yang kurang hormat ini.

Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang