Jilid 45

396 14 0
                                    

Mendengar sampai di situ, Yok Lan mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata kagum. "Biarpun kedua orang-tuamu meninggal dunia dalam usia muda, akan tetapi mereka banyak lebih berbahagia daripada kedua orang-tuaku," katanya dengan suara perlahan.

"Akan tetapi, sebagai anak piatu, aku lebih banyak merasakan sengsara daripada kau," kata Ouw Hui.

Nona Biauw mengawasi dengan perasaan kasihan. "Yah," katanya s.imbil menghela napas "Jika ayahku mengetahui kau masih hidup, biar bagaimana pun juga, ia akan pelihara kau. Jika itu terjadi, bukankah siang-siang kita sudah mengenal satu sama lain?"

"Kalau aku menumpang di rumahmu, mungkin sekali kau merasa sebal akan diriku," kata Ouw Hui sembari tertawa.

"Tidak." kata Yok Lan dengan suara keras. "Mana bisa begitu? Aku pasti akan perlakukan kau seperti saudara kandung sendiri."

Jantungnya Ouw Hui berdenyut keras. "Tapi ... tapi apakah pertemuan kita tidak terlalu lambat?" ia menanya.

Nona Biauw tidak lantas menyahut selang beberapa saat, barulah ia menjawab dengan suara berbisik, "Tidak!"

Si Rase Terbang jadi girang bagaikan kalap. Jawaban si nona sudah merupakan satu pengakuan yang tak dapat ditafsirkan lain, daripada satu pengakuan, bahwa ia menyintai Ouw Hui.

"Aku bersumpah," ia berkata dengan suara terharu, "bahwa selama hidupku, aku Ouw Hui tak akan mensia-siakan kau!"

Kedua orang muda itu lantas saling menyekal tangan dan tidak berkata-kata lagi. Bagi dua hati yang sudah bersatu, kata-kata tidak diperlukan lagi. Bagi mereka guha yang kecil dan sempit itu sudah merupakan merupakan dunia yang serba lengkap, sehingga mereka seakan-akan lupa, bahwa di luar guha masih terdapat langit dan bumi yang tiada batasnya.

Lama, lama sekali mereka saling menyekal tangan.

Akhirnya, lagi-lagi Biauw Yok Lan yang memecahkan kesunyian. "Mari kita bersama-sama mencari ayah," mengajak ia.

"Baiklah," sahut Ouw Hui, yang sebenar-benarnya sungkan berkisar dari situ.

Yok Lan pun mempunyai perasaan yang sama. Maka itu, lantas saja ia berkata, "Sedang Touw chungcu masih mempunyai ikatan keluarga dengan kau, kenapa kau mau tempur padanya?"

Ouw Hui kertek giginya. 'Ah! Jika diceritakan, sungguh-sungguh mendeluhkan," katanya. "Pada waktu mau menutup mata, ibuku menulis satu surat wasiat yang ditaroh di atas buntalan pakaianku. Dalam surat itu, ia memohon ayahmu dan Touw chungcu, supaya mereka suka memelihara aku sampai menjadi besar. Akan tetapi belakangan terjadi kejadian yang tidak diduga-duga. Peng sisiok telah bawa aku kabur. Oleh karena menduga ayahmu mempunyai niatan kurang baik terhadapku, ia bawa aku kabur ke tempatnya Touw chungcu. Akan tetapi, sebaliknya dari ayahmu, adalah Touw chungcu yang berhati busuk. Ia sangat ingin merampas kitab ilmu silat ayahku dan di sebelahnya itu, ia pun menduga kedua orang-tuaku mengetahui rahasia gudang harta itu. Begitulah, diam-diam ia sudah menggerayangi barang-barang peninggalannya ibu. Peng sisiok yang mengetahui kejadian itu, buru-buru mabur sambil mendukung aku. Ia berhasil membawa Buhak Pitkip (Kitab Ilmu Silat) ayahku, tapi sebuntal barang-barang peninggalan ibu, sudah hilang di rumah Touw chungcu. Itulah sebabnya kenapa aku sudah janjikan untuk mengadakan satu pertemuan dengan ianya, guna mengambil pulang barang peninggalannya ibuku."

"Biasanya terhadap lain orang Touw chungcu selalu berlaku manis budi, tak nyana terhadap kau, ia begitu jahat," kata si nona.

"Hm!" Ouw Hui keluarkan suara di hidung. "Bahwa ia sudah bersekutu untuk mencelakakan ayahmu, sudah merupakan bukti cukup dari kejahatannya,"

Belum habis perkataannya, dari arah sebelah kiri mendadak terdengar suara beradunya senjata, dicampur dengan bentakan-bentakan! Ouw Hui yang kupingnya tajam luar biasa, segera berkata, "Heran! Kenapa suara itu keluar dari bawah tanah? Kau tunggu di sini, aku akan pergi menyelidiki."

"Tidak! Aku ikut," kata si nona.

Ouw Hui yang sebenarnya tak ingin tinggalkan ia sendirian, lantas saja berkata, "Baiklah." Sambil menuntun tangannya nona Biauw, ia lalu berjalan keluar dari guha itu.

Malam itu adalah malam sha gwee capgo (bulan tiga, tanggal lima belas.) Sang Puteri Malam yang bundar menyiarkan sinarnya yang putih bagaikan perak di atas salju yang putih pula. Sungguh indah pemandangan itu. Mereka seakan-akan berada dalam dunia impian. Oleh karena kuatir si nona kedinginan, Ouw Hui membuka juba luarnya dan berikan itu kepada Yok Lan. Perlahan mereka menuju ke arah suara itu.

Sesudah berjalan beberapa lama, suara itu kedengaran semakin keras Ouw Hui berhenti sejenak dan memasang kupingnya 'Ah! Suara itu datang dan gudang harta," katanya. "Mereka tentu sedang bertempur untuk berebut harta karun itu."

Dari kitab peninggalan mendiang ayahnya, si Rase Terbang sudah mendapat tahu di mana letaknya guha harta itu dan sudah pernah masuk-keluar beberapa kali. Dari guha itu, ia sudah ambil syair yang ditulis oleh kedua orang-tuanya dan ambil juga pit emas ayahnya Tian Kui Long, yang ia sudah timpukkan kepada Tian Ceng Bun pada pagi itu. Walaupun sudah keluar-masuk di gudang harta, akan tetapi mengingat pesanan kedua orang-tuanya, Ouw Hui belum pernah memikir untuk meraba emas-permata itu.

Begitu mengetahui dari mana datangnya suara itu, si Rase Terbang segera menduga, bahwa Po Si dan kawan-kawannya sedang saling bunuh untuk kangkangi emas-permata itu.

Dugaan Ouw Hui memang benar adanya. Ketika itu, orang-orang dari Thian Liong Bun, Eng Ma Coan dan Peng Tong Piauw Kiok sedang bertempur mati-matian dengan ditonton oleh Po si sembari mesem tawa. Dalam hatinya ia ingin menunggu sampai semua orang menjadi rusak dan kemudian barulah membereskan mereka satu per satu

Sesaat itu, Ci Hun lang dan Him Goan Hian bergelut dan bergulingan di atas tanah. Semakin lama mereka semakin mendekati perapian. Bermula masing-masing ingin mendorong musuhnya ke arah api, akan tetapi, sesudah bergulingan beberapa kali, perapian yang tersentuh itu hampir saja menjadi padam.

"Gila kau!" memaki Po Si. "Kalau perapian padam, kau semua mampus kedinginan di sini!" Ia angkat kaki kanannya dan menyontek badannya Ciu Hun Jang yang sedang memeluk Him Goan Hian. Tubuhnya kedua orang itu lantas saja "terbang", akan kemudian ambruk kembali di atas tanah dengan satu suara "buk!"

Sembari mesem-mesem, Po Si membungkuk dan mengambil sepotong kayu untuk menambah bahan bakar di perapian. Ketika ia sedang melempangkan kembali pinggangnya, matanya mendadak melihat dua bayangan manusia yang bergoyang-goyang di dinding seberang, menuruti goyangannya api perapian.    

Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang