Jilid 39

481 15 0
                                    

Sesudah merangkak kira-kira seminuman teh, jalanan depan terpepat dengan dua batu, satu batu bundar di bawah, satu batu besar di atasnya, sedang di antara kedua batu itu, terdapat lapisan es yang sangat keras.

Him Goan Hian menoleh ke belakang. "Bagaimana sekarang?" ia menanya Po Si. Po Si menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal tanpa memberi jawaban. Antara jagoan-jagoan itu, In Kiat-lah yang paling cerdas otaknya. Sesudah memikir beberapa saat, ia berkata, "Dua batu yang menempel itu, pasti dapat digerakkan. Persoalannya hanya terletak kepada es yang memegang kedua batu itu."

"Benar," kata Po Si dengan girang. "Kita dapat melumerkan es itu dengan obor."

Him Goan Hian lantas saja mendekati obornya kepada dua batu itu untuk melumerkan es. Lauw Goan Ho, Whi Su Tiong dan beberapa orang lain lantas merangkak keluar dan balik dengan membawa lebih banyak cabang-cabang kering. Dengan bantuan bahan bakar baru, api jadi semakin besar dan sepotong demi sepotong, kepingan-kepingan jatuh di atas tanah.

Sesudah sebagian besar es menjadi lumer, Po Si yang merasa tidak sabaran, segera mendorong batu itu dengan kedua tangannya, tapi sedikitpun tidak bergerak. Pembakaran dilangsungkan terus dan sesudah menunggu beberapa saat, Po Si mendorong pula. Sekali ini ia berhasil! Setelah bergoyang-goyang beberapa kali, batu besar itu terdorong ke belakang dan terbukalah satu pintu batu, buatan alam. Berbareng dengan terbukanya pintu itu, satu sorakan girang memecah kesunyian guha.

Dari tumpukan api, Po Si sambar sebatang cabang yang menyala dan loncat masuk paling dulu, diikut oleh kawan-kawannya yang masing-masing menyekal obor.

Begitu masuk di pintu, satu pemandangan yang sungguh-sungguh menakjubkan terbentang di depan mata mereka! Sinar emas yang gilang -gemilang memancar ke empat penjuru, sehingga matanya setiap orang menjadi silau. Mereka semua menahan napas dengan mulut ternganga.

Apakah yang mereka lihat?

Mereka berada dalam satu ruangan guha yang sangat besar dan luas. Di depan mereka bertumpuk-tumpuk potongan-potongan emas dan perak, mutiara dan macam-macam batu permata yang beraneka-warna, yang tak dapat dihitung berapa banyaknya! Akan tetapi, semua barang berharga itu berada di dalam es. Dapat diduga, bahwa pada ketika orang-orangnya Cwan Ong sudah menaruh emas-permata itu di dalam guha, mereka lalu menyiram dengan banyak sekali air yang kemudian lalu membeku. Demikianlah sekarang harta karun itu seperti juga tersimpan di bawahnya batu kristal raksasa.

Setiap orang mengawasi dengan mata mendelong. Mereka kesima dan untuk sejenak, tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Tiba-tiba, dengan serentak mereka bersorak, bagaikan kalap menubruk es raksasa itu.

Mendadak Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget. 'Ada orang!" ia berseru sambil menunjuk ke dalam. Di bawah sinarnya obor, benar saja terlihat dua bayangan manusia yang berdiri di dekat tembok.

Semua orang kaget bagaikan disambar geledek. Mereka tak mengimpi, bahwa dalam guha itu terdapat lain manusia. Mereka segera mencabut senjata dan tanpa merasa, berkumpul menjadi satu. Lewat beberapa saat, kedua bayangan hitam itu masih juga tidak bergerak.

"Siapa?" Po Si membentak, tapi tidak mendapat jawaban.

Semua orang jadi merasa terlebih heran. "Cianpwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi) siapakah yang berdiri di situ," berkata pula Po Si. "Harap suka keluar untuk berkenalan."

Suaranya Po Si yang nyaring berkumandang keras dalam ruangan itu, akan tetapi, kedua orang itu tetap bungkam dan tidak bergerak.

Sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Po Si mendekati beberapa tindak. Setelah mengawasi beberapa saat, ia dapat kenyataan, bahwa kedua bayangan hitam itu berdiri di sebelah luarnya satu lapisan es, yang merupakan satu tembok kristal dan membagi ruangan itu menjadi dua, yaitu ruangan depan dan ruangan belakang.

Si Rase Terbang dari Pegunungan Salju - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang