Instinct -6

11.9K 1.3K 62
                                    

Iqbaal menghabiskan nasi gorengnya dengan cepat agar bisa segera pergi dari hadapan Sasa yang menyebalkan.

"Lo yang bayar, kan?" tanya Iqbaal ketika suapan terakhirnya habis.

Sasa menaikkan kedua alisnya menatap Iqbaal, mulutnya penuh dengan nasi goreng pedas dan membuat pipinya menggembung lucu. Otaknya mencoba mencerna pertanyaan Iqbaal dengan baik, lalu matanya berkedip dua kali.

"Biar antimeinstream, gue yang bayar." jawab Sasa dengan suara yang sedikit tidak jelas karena mulutnya masih penuh dengan nasi goreng.

Iqbaal menghela napas, lalu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan Sasa yang kini membulatkan mata melihatnya pergi.

"Eh, mau kemana?" tanya Sasa.

"Pulanglah, thank's buat traktirannya!" jawab Iqbaal, ia hanya melirik Sasa sekilas dan kembali mengayunkan kedua kakinya untuk pulang.

"Kita belum romantis-romantisan, Baal! Kan, gue niatnya mau ngajak lo dating, kok lo malah ninggalin gue pas udah kenyang!" teriak Sasa. Wajahnya tertekuk sedih dan tangannya kembali menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

Iqbaal menutup pintu, ia mendengar teriakan Sasa yang begitu nyaring. Tapi bukan itu fokusnya sekarang, kepalanya terasa berdenyut nyeri sampai seluruh tubuhnya terasa kesemutan.

Tubuh Iqbaal perlahan membungkuk seiring dengan semakin kuatnya rasa sakit di kepalanya dan kakinya yang mulai terasa lemas. Ia memekik karena rasa sakit tak tertahan yang membuat Teh Ody berlari dengan wajah panik ke arahnya.

"Kepala lo sakit lagi? Lo belum minum obat ya?" tanya Teh Ody panik.

Iqbaal hanya bisa mengangguk tanpa bisa mengeluarkan suara.

"Tunggu Teteh ambilin obatnya dulu." Teh Ody berlari dengan cepat menuju kamar Iqbaal dan meraih obat yang selalu tersedia di atas nakas.

Ketika Teh Ody kembali dari mengambil obat, Iqbaal sudah terduduk di lantai dengan wajahnya yang merah menahan rasa sakitnya.

Teh Ody segera menyerahkan obat itu dan membantu Iqbaal minum. Butuh waktu beberapa saat sampai kondisi Iqbaal mulai tenang dan rasa sakit itu perlahan mereda.

"Alhamdulillah," desis Teh Ody bernapas lega melihat Iqbaal sudah lebih tenang dan tidak lagi kesakitan seperti tadi.

"Ayo Teteh bantu duduk di sofa!" Teh Ody meraih tangan Iqbaal dengan hati-hati dan memapah tubuh lemas Iqbaal untuk dia dudukkan di sofa.

"Makasih, Teh..." ucap Iqbaal pelan.

Teh Ody mengangguk. "Lain kali jangan bikin Teteh panik, Le! Minum obat yang teratur, jangan telat! Bunda sama Ayah lagi pergi loh kalo sampai ada apa-apa sama lo, Teteh nggak tau harus gimana!" balas Teh Ody mengomel.

Iqbaal hanya diam dan tersenyum mendengar omelan dari Teh Ody. Matanya kini menatap Ody lembut, merasa senang melihat Ody panik karena dirinya. Meskipun, saat ini Ody terlihat tenang. Tapi, Iqbaal yakin masih ada kepanikan di dalam hati Ody.

"Teteh kapan balik ke Bandung?" tanya Iqbaal ketika Ody selesai mengomel dan meraih tisu untuk menghapus sisa-sisa air matanya yang sempat jatuh.

"Lusa," Ody menghela napas. "Gue minta pas gue udah balik ke Bandung nanti, lo nggak bandel lagi dengan telat minum obat dan bikin sakit kepala lo kambuh lagi! Awas lu kalo sampe ngulangin lagi gue bakal bejek-bejek lo pas gue liburan!" ancamnya.

Iqbaal berdecak. "Teteh jahat banget sama adek sendiri. Doain kek biar sehat, biar bisa lulus cepet, terus kuliah bareng sama Teteh di kedokteran."

"Lo nggak pantes jadi dokter, jadi pengemis lo cocoknya."

Instinct [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang