Instinct -27

10.1K 1.4K 230
                                    

Suara denting sendok dan piring terdengar di ruang makan rumah Sasa. Momen yang bisa dibilang langka, sarapan pagi bersama dengan Melisa, Ibunya yang selalu sibuk dengan bisnis seperti Ayahnya.

"Oh iya, sayang. Mama udah booking salah satu kafe nggak jauh dari kantor Mama untuk pesta ulang tahun kamu besok. Mama juga udah siapin semuanya, band, makanan, pelayan, kue, sampai gaun super cantik yang akan kamu pakai besok." Melisa mengunyah potongan roti dengan anggun.

"Mama nggak sabar sama ulang tahun kamu." seru Melisa gemas.

Sasa tersenyum penuh mendengar perkataan Melisa. Dia senang karena Melisa masih mengutamakannya, meskipun tidak secara langsung. Bahkan, Melisa menyiapkan semua tanpa sepengetahuannya.

"Makasih, Mah, aku seneng banget Mama terlibat di pesta ulang tahun aku," kata Sasa.

Melisa menatap Sasa lembut dan mengusap pelan punggung tangan putrinya itu. "Apapun buat kamu, maafin Mama kalau selama ini jarang di rumah nemenin kamu. Mama sama Papa lakuin semua ini buat kamu, kami kerja keras cuma buat satu orang. Kamu dan masa depan kamu." balas Melisa lembut.

Sasa mengangguk mengerti. Meskipun jarang di rumah, orangtuanya sering mengajaknya video call untuk melepas rindu dan bertanya kabar. Hal sederhana itu membuat Sasa tidak merasa kehilangan kasih sayang dari Melisa dan Randy.

"Kamu mau tau kenapa Mama sama Papa mati-matian ngumpulin uang sampai nggak ada waktu buat di rumah sama kamu?" tanya Melisa. Sepotong lauk masuk ke dalam mulutnya, lalu menatap Sasa.

"Semua itu karena Papa sama Mama punya rencana, setelah umur Papa sama Mama di atas empat puluh lima tahun, semua kebutuhan kamu sudah masuk daftar tabungan. Jadi, kalau kamu menikah dan punya anak, suami kamu tinggal nerusin usaha Mama sama Papa. Karena, kamu pewaris tunggal perusahaan Papa sama Mama." jelas Melisa setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya.

Senyum Sasa perlahan luntur mendengar impian kecil yang diutarakan Melisa. Hatinya tiba-tiba terenyuh dan matanya mulai berkaca-kaca. Orangtua yang sibuk bekerja dan tidak pernah ada waktu dengan anak-anaknya, bukan berarti mereka tidak peduli.

Harusnya, anak-anaknya mengerti bagaimana susahnya orangtua mereka banting tulang hanya demi masa depan anak-anaknya. Kebanyakan dari mereka hanya tidak mau anaknya tahu bagaimana susahnya mencari uang dan bagaimana susahnya memulai hidup dari angka nol.

"Nanti setelah Mama pensiun, Mama pengen istirahat total dari semua pekerjaan dan main sama cucu Mama." Melisa tertawa pelan membayangkan bagaimana lucunya cucunya nanti memanggilnya dengan sebutan Oma.

"Oh iya, Papa nggak bisa datang besok. Soalnya, nanti malam Papa terbang ke Dubai buat ketemu sama klien penting. Tapi Papa janji bakal video call kamu pas acara besok, dan Papa udah nyiapin hadiah spesial buat kamu. Besok hadiahnya datang." ujar Melisa lagi.

Sasa mengedipkan matanya dan membuat air matanya jatuh. Hatinya benar-benar tersentuh dengan pengorbanan kedua orangtuanya. Dia jadi menyesal karena sewaktu di Jogja, dia sering marah dan menganggap kedua orangtuanya tidak pernah peduli padanya.

Padahal, setiap hari saat dalam keadaan jauh mereka selalu menyempatkan diri untuk menelepon atau mengirim pesan. Menanyakan apakah dia makan tepat waktu dan apa saja yang dia dapatkan di sekolah saat jam pelajaran.

Melisa terpaku melihat Sasa menangis tanpa suara. Buru-buru dia beranjak dari duduknya dan menghampiri Sasa untuk melihat keadaan gadis itu.

"Kamu kenapa?" tanya Melisa lembut.

Sasa menghambur kepelukan Melisa dan berbisik dengan suara tercekat. "Makasih untuk semua pengorbanan Mama dan Papa demi masa depan aku. Aku nggak akan marah lagi kalau Mama pergi keluar kota buat meeting, aku minta maaf karena dulu sering marah sama Mama dan Papa kalau kalian tiba-tiba pergi jauh. Aku... cuma takut sendiri dan kehilangan kalian." ucap Sasa lirih.

Instinct [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang