Iqbaal terduduk dengan matanya terpejam dan alis yang bertaut. Perlahan, rasa sakit di kepalanya semakin kuat. Seperti ribuan paku dan jarum menekan kepalanya dan membuat kepalanya serasa ingin pecah. Iqbaal melirik jam weker di atas nakas yang menunjukkan pukul tiga lewat tujuh menit dini hari.
Iqbaal ingat tadi dia sudah minum obatnya tepat waktu, tapi sakit kepalanya tetap kambuh lagi. Rasa sakit itu kini makin terasa kuat dan akan semakin kuat sampai membuat dadanya sesak.
"Astaghfirullahaladzim," desis Iqbaal di sela-sela rasa sakitnya.
Iqbaal mendesis menahan sakit kepala hebat yang menyerangnya. Kedua tangannya menjambak rambutnya dengan kuat sampai buku jarinya memutih. Iqbaal masih sadar kalau di kamar ini ada Raffi, dan Iqbaal tidak ingin Raffi panik melihatnya kesakitan seperti ini.
Iqbaal menyibak selimutnya pelan dan berjalan tertatih menuju balkon kamarnya. Setidaknya, di sana Raffi tidak melihatnya seperti ini. Kesakitan dengan erangan tak tertahan yang akan terdengar pilu di telinga.
"Sshh, Ya Allah." Iqbaal meringis, menggigit bibirnya kuat dan bersandar pada dinding.
Jika seperti ini, Iqbaal selalu berpikir untuk mati saja. Ini terlalu sakit dan melelahkan untuk seseorang yang rapuh seperti Iqbaal.
Bugh! Iqbaal membenturkannya kepalan tangannya ke dinding tempat dia bersandar, meluapkan rasa kesalnya karena rasa sakit yang tidak pernah mau pergi dari kepalanya. Obat yang rajin Iqbaal minum seperti tidak bekerja setiap kanker itu datang.
Semua terasa percuma.
"Astaghfirullahaladzim, Ya Allah," desis Iqbaal sakit.
Napas Iqbaal tersengal. Iqbaal merasa sangat lelah dengan kanker yang hinggap di dirinya dan menyiksanya tanpa ampun.
Kanker itu selalu membuat Iqbaal menyerah dengan hidup. Setiap sakit itu datang, dia selalu berdoa agar Tuhan segera mencabut nyawanya. Ia tidak ingin lagi hidup dengan bayang-bayang sakit masa lalu dan juga kanker yang seolah memeluk erat dirinya dan tak ingin pisah.
Ia selalu merasa marah ketika melihat wajah cemas orang tua dan kakaknya. Ia marah karena ia benar-benar merasa menjadi manusia tak berguna, selalu menyusahkan semua orang lain dan menjadi beban orang lain.
Air mata jatuh dari kelopak matanya, rasa sakit di kepalanya kini menjalar sampai ke hati. Membuatnya semakin lemah dan kalah oleh keadaan yang serasa menghimpitnya tanpa sedikitpun memberinya ruang gerak.
***
Raffi terbangun karena ingin buang air kecil. Tapi sebelum masuk kamar mandi dia menyadari satu hal.
Iqbaal tidak ada di tempat tidurnya. Raffi bergegas mencari Iqbaal ke kamar mandi dan tidak menemukan Iqbaal di sana.
Ia dilanda cemas saat melihat pintuan apakah Iqbaal di sana atau tidak.
Dan mata Raffi membulat ketika melihat Iqbaal tertidur lemas dengan mata terpejam. Napas laki-laki itu terlihat pelan dan wajah yang pucat. Pemandangan itu membuat Raffi syok dan tubuhnya kaku untuk beberapa detik.
"Astaghfirullah," Raffi segera mendekat dan menarik Iqbaal dalam dekapannya.
Ia menepuk kedua pipi Iqbaal agar Iqbaal membuka mata dan mengatakan padanya kalau Iqbaal baik-baik saja. Raffi panik.
"Iqbaal, lo denger gue kan?" Raffi kembali menepuk kedua pipi Iqbaal dan berharap Iqbaal membuka matanya.
Raffi semakin kalut.
Dia mencoba menggendong Iqbaal ke dalam. Susah payah Raffi memindahkan Iqbaal dan menidurkan Iqbaal di tempat tidur. Raffi mondar mandir bingung, karena dia belum pernah liat kanker Iqbaal kambuh sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Instinct [Completed]
Fanfiction"Kanker otak stadium akhir." Ketika mendengar vonis dokter, Iqbaal sudah tahu dunianya akan berubah sepenuhnya. Terlebih ketika ia mencoba bertanya lebih tentang penyakit itu dan penjelasan dokter semakin membuatnya jatuh. Iqbaal mencoba kuat, tapi...