Instinct -10

11.1K 1.3K 124
                                    

Sasa membuka pintu kafe dan disambut dengan aroma kopi yang bercampur dengan kue lezat. Ini sudah satu minggu setelah kejadian di gudang. Dan sejak hari itu, Sasa kesulitan bertemu dengan Iqbaal.

Laki-laki itu menghindarinya dengan berbagai cara, tapi Sasa tahu kalau sejak satu minggu terakhir Iqbaal selalu datang ke kafe ini.

Sasa menjenjangkan lehernya dan senyumnya mengembang ketika menemukan apa yang dia cari.

Dugaannya benar, Iqbaal ada di sini dan selalu duduk di pojok kafe yang jarang dilintasi orang-orang. Sasa tahu Iqbaal sangat menyukai keheningan.

Sasa menarik tangan seorang waitres yang melintas di depannya. "Mbak, Mas yang di sana pesen minuman apa, ya?" tanya Sasa kepo.

"Cappuccino keju, Mbak," jawab waitres itu dengan senyum ramah.

Sasa mengangguk. "Saya pesen itu juga deh, Mbak. Nanti tolong anterin ke sana, ya? Saya mau duduk di sana."

Waitres itu mengangguk dan kemudian pergi dari hadapan Sasa.

Sasa menghela napas, melangkahkan kakinya mendekat pada meja Iqbaal dan duduk tepat di hadapan Iqbaal. Senyum Sasa lebar dengan harapan Iqbaal merespon kehadirannya. Tapi sayangnya, Iqbaal masih tetap sibuk dengan laptopnya.

"Baal," Sasa menyerukan nama Iqbaal dengan suara yang pelan.

"Lo masih marah ya sama gue? Gue kan nggak bermaksud kasian sama lo, gue cuma... gue cuma takut lo kenapa-napa." ujarnya sembari mengaitkan jari-jarinya yang terasa dingin. Iqbaal berubah sejak kejadian di gudang.

Dari yang sebelumnya dingin, menjadi lebih dingin.

"O iya, gue punya tiket nonton konser loh, lo temenin gue nonton ya? Ini konser rock! Gue jamin lo suka." Sasa menatap Iqbaal dengan kepala yang mendekat pada wajah Iqbaal.

Iqbaal melirik sekilas. Lalu, kembali pada layar laptopnya.

Respon Iqbaal langsung membuat Sasa mengerucutkan bibirnya kecewa. Helaan napas terdengar jelas dari bibir Sasa. Gadis itu mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas meja, bosan. Hanya pura-pura bosan. Ia lakukan itu untuk menarik perhatian Iqbaal.

Tapi sayangnya, Iqbaal tidak merespon sedikitpun.

"Lo bener-bener masih marah ya sama gue?" tanya Sasa lirih.

Hening. Iqbaal meraih cangkir cappuccino-nya dan menyesapnya perlahan. Lalu kembali meletakkan cangkir itu ke meja. Benar-benar tidak menganggap Sasa ada di hadapannya.

"Iqbaal, maksud gue itu bukan kas-"

"Permisi, Mbak, cappuccino-nya." waitres itu tersenyum ramah dan meletakkan cappuccino yang dipesan Sasa di atas meja. Lalu, pergi membiarkan Sasa kembali melanjutkan pembicaraannya dengan Iqbaal.

Sasa menyesap cappuccino yang terasa hangat dengan serutan keju yang memanjakan lidahnya. Sejenak, ia menikmati rasanya. Pantas saja Iqbaal begitu menyukai cappuccino dengan toping keju, rasanya memang enak.

Selesai memuji rasa cappuccino toping kejunya. Sasa kembali fokus pada Iqbaal yang sejak tadi tidak berhenti menatap layar laptop di hadapannya.

"Gue nyariin lo ke sekolah lagi waktu itu karena gue khawatir sama keadaan lo yang belum pulih. Gue begitu bukan karena kasian, tapi karena gue peduli sama lo, Baal." lirih Sasa.

Iqbaal mendesah kesal. Sasa selalu saja lebay dan... alay.

"Gue kan sayang sama lo, ya gue takut lo kenapa-napa," desis Sasa dengan kepala menunduk. "Merokok itu nggak sehat. Apalagi kalo dalam kondisi sakit."

Instinct [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang