Instinct -23

9.6K 1.4K 109
                                    

Iqbaal membuka pintu kelas dengan langkah tertatih menuju sudut ruang kelas. Ia tidak tahu bagaimana rasanya, badannya terasa remuk, dan bau anyir darah terus menyengat kuat. Napasnya terlihat berat, lalu tasnya terjatuh begitu saja.

Iqbaal memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam, setelah itu ia menjatuhkan tubuhnya begitu saja di sudut kelas yang malam ini gelap. Ia ingin istirahat sebentar di sana sampai keadaanya menjadi lebih baik.

Iqbaal ingat dengan jelas bagaimana para preman itu memegangi kedua tangannya dan membiarkan Danu melampiaskan kemarahannya. Iqbaal pikir setelah Danu puas memukulinya, Danu akan melepaskannya. Ternyata tidak, Danu malah menginterupsi para preman itu untuk menuntaskan amarahnya.

Jadilah Iqbaal seperti malam ini. Rambutnya berantakan, seragam lusuh, wajah penuh luka, dan kepalanya yang masih belum berhenti mengeluarkan darah karena dipukul dengan botol. Tapi, Iqbaal masih bersyukur karena dia masih bisa mengontrol kesadarannya yang sudah seperti terombang-ambing.

Dan semua ini demi Sasa.

***

Sasa yang tengah mengambil minum di dapur mendengar suara pintu diketuk. Tatapannya beralih melirik kearah jam yang menunjukkan pukul sembilan malam. Alisnya sontak saja bertaut dalam, siapa yang bertamu dijam segini?

Langkahnya terayun mendekati pintu dan memutar kunci, lalu membuka pintu. Kerutan di dahinya seketika hilang saat melihat Raffi berdiri di depan pintu rumahnya.

"Kak Raffi, ada apa?" tanya Sasa.

"Iqbaal ada hubungin lo nggak? Dia belum pulang sampai sekarang." Raffi balik bertanya. Terlihat jelas raut wajah cemas di wajah Raffi ketika melontarkan pertanyaan untuk Sasa.

Sasa terpaku sejenak.

"Nggak ada, Kak," jawab Sasa.

"Kalau gitu biar gue coba telepon Aldi sama Rizky, deh, soalnya mereka berdua dekat sama Iqbaal. Siapa tau aja mereka tau di mana Iqbaal."

Raffi mengangguk. "Bantuin gue, ya? Gue khawatir dia kenapa-napa," Raffi mengusap lembut rambut Sasa. Senyum tipis terlihat menghiasi wajah Raffi, menyembunyikan rasa cemasnya.

Sasa membalas senyuman Raffi dan menepis tangannya pelan agar Raffi tidak tersinggung. Ia sendiri sebenarnya bingung kenapa dia jadi sedikit risih setiap kali Raffi menunjukkan perhatiannya. Padahal, dulu dia suka sekali mendapat perhatian itu.

"Ya udah, gue mau cari Iqbaal dulu, ya? Tolong bantu buat teleponin temen-temennya Iqbaal, ya?"

"Pasti, Kak."

Raffi mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan rumah Sasa untuk mencari Iqbaal. Perasaannya kalut, dia takut karena Iqbaal belum pernah pergi sampai selarut ini.

Sasa menutu pintunya dengan cepat, langkahnya setengah berlari menuju kamar untuk mengambil jaket dan tas. Pikirannya kini hanya tertuju pada satu tempat. Ia tidak tahu kenapa, yang pasti perasaannya mengatakan kalau Iqbaal ada di sana sekarang.

***

"Ayo lebih cepet lagi, Pak, darurat!"

Sasa meminta supir taksi untuk menambah kecepatan. Beberapa kali dia mencoba menghubungi Iqbaal, namun tidak ada respon. Ia juga mengirimkan pesan pada laki-laki itu, tapi tak ada satupun yang dibalas.

Sasa mengusap wajahnya kasar, perasaannya tidak karuan. Pikiran-pikiran buruk mulai menyelimuti hatinya. Ia hanya takut Iqbaal tidak baik-baik saja.

Saat taksi itu berhenti tepat di depan sekolah, Sasa segera turun. Ia berlari menuju gerbang belakang sekolah yang tidak terkunci. Sama sekali tidak ada rasa takut, yang ada di pikirannya cuma Iqbaal. Tidak ada yang lain.

"Please, Baal, gue yakin lo di sini," lirih Sasa sambil terus memeriksa satu per satu kelas. Ia tidak peduli dengan yang namanya lelah, yang Sasa mau cuma menemukan Iqbaal dan melihat keadaan laki-laki itu.
Langkahnya sampai di depan kelas Iqbaal, melihat pintu yang tidak tertutup rapat ia semakin yakin dengan perasaannya.

Sasa segera membuka pintu lebar-lebar dan masuk dengan tergesa. Pandangannya berpendar mencari keberadaan Iqbaal di dalam kelas ini. Dan suara rintihan seseorang membuat gadis itu terfokus pada satu arah. Langkahnya terayun cepat mendekati sumber suara.

"Iqbaal!" Sasa memekik keras melihat Iqbaal duduk di pojok kelas dengan wajah penuh luka dan darah yang mengotori baju putihnya.

Sasa menyentuh kedua pipi Iqbaal dengan hati-hati dan mengusap noda darah di kening serta pelipis Iqbaal. Satu hal yang paling tidak ia suka dari Iqbaal adalah; ketika Iqbaal menunjukkan sisi lemahnya seperti ini. Ia tidak suka dan rasanya melihat orang yang disayang seperti ini sakit sekali.

"Lo kenapa? Kenapa bisa kayak gini?" tanya Sasa dengan suara bergetar. Air matanya luruh begitu saja bersama rasa takut yang menyeruak dari dadanya.

Iqbaal membuka matanya perlahan, pandangannya yang kabur melihat keberadaan Sasa di hadapannya. Iqbaal menepis tangan Sasa, mendorong gadis itu menjauh darinya.

"Pergi lo!" ucap Iqbaal dengan suara tertahan. Menahan nyeri akibat luka yang didapatnya.

Sasa menggeleng cepat. "Keadaan lo kaya gini lo minta gue pergi? Lebih baik kita kerumah sakit, ya?" Ia mencoba menyentuh Iqbaal lagi.

Tapi, Iqbaal lagi-lagi menepisnya dan kali ini menunjuk kasar wajahnya. Sasa jadi bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada Iqbaal sampai Iqbaal seperti ini. Tatapan Iqbaal memperlihatkan kebencian, membuat hati Sasa sakit dan kerongkongannya tercekat.

"Nggak usah sok peduli lagi sama gue! Gue nggak butuh belas kasihan cewek munafik kayak lo!" bentak Iqbaal.

"Kenapa lo ngomong gitu? Gue bukan kasihan sama lo, tapi gue peduli sama lo. Gue sayang sama lo, Baal," lirih Sasa.

"Nggak usah bohong lagi, lo deketin gue cuma karena kasihan sama gue. Lo sama aja kayak yang lain, pura-pura care sama gue, padahal lo pengen ngetawain hidup gue."

"Kenapa lo nyamain gue sama yang lain? Gue beneran sayang sama lo! Kalo gue nggak sayang sama lo buat apa malam-malam gini gue nekat kesekolah cuma buat nyariin lo? Kalau lo nggak penting buat gue, kenapa gue harus nangisin lo? Kenapa gue harus ngerasain sakit di hati gue setiap liat lo kayak gini?" isak tangis lolos dari bibir Sasa, ternyata Iqbaal masih belum percaya dengan rasa sayangnya. Hatinya terluka lagi.

Iqbaal memejamkan matanya cukup lama dan menarik napas dalam-dalam untuk mengusir sesak yang membelenggu. Semua yang dikatakan Danu masih terngiang di telinganya. Awalnya, Iqbaal memang tidak percaya, tapi setelah melihat satu bukti dia jadi percaya dengan apa yang dikatakan Danu tentang Sasa.

"Karena, lo mau bikin Raffi percaya kalau lo sayang sama dia, dan lo bisa ngambil hati keponakannya." Iqbaal berucap lirih. Iqbaal tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Terlalu sakit dan kecewa.

Sasa mengerutkan alisnya bingung. Kenapa tiba-tiba membawa Raffi dalam obrolan mereka?

"Gue emang sayang sama Raffi, tapi sebagai Kakak gue. Orang yang bener-bener gue sayang itu cuma lo. Kurang bukti apalagi Baal, biar lo percaya? Selama ini lo ngehina gue, nolak gue, tapi gue tetep di samping lo, kan? Karena apa? Iya, karena gue cinta sama lo," Sasa menepis air matanya yang semakin deras.

"Gue nggak pernah sayang sama orang sampai segininya, Baal. Gue tulus sama lo dari hati gue yang paling dalam. Gue nggak peduli lo penyakitan atau apa, gue terima lo apa adanya. Karena, gue sayang sama lo karena hati lo, bukan karena yang lain. Yang gue tahu, hati lo bisa mencintai orang dengan sangat tulus, bahkan jauh lebih tulus dari perasaan gue ke elo." jelas Sasa panjang.

Sasa mencoba mendekat perlahan saat melihat Iqbaal hanya diam dengan mata berkedip pelan. Tangannya bergerak menyentuh kedua bahu Iqbaal yang langsung membuat Iqbaal meringis tertahan.

Melihat Iqbaal tidak membalas lagi perkataannya, Sasa memberanikan diri memeluk Iqbaal. Tidak peduli dengan bau anyir darah dan bajunya jadi kotor karena darah dari Iqbaal. Gadis itu terisak kencang di pelukan Iqbaal. Pelukannya mengerat seiring melemahnya tubuh Iqbaal dalam pelukannya.

"Lo harus percaya, kalau gue tulus sayang sama lo," bisiknyq dengan suara bergetar hebat.

***

Instinct [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang