Iqbaal membuka pintu kamarnya dengan lemas. Ia lelah hari ini, lelah menahan emosi karena Sasa yang membuatnya kesal. Iqbaal meletakkan tasnya di atas meja belajar, lalu duduk di kursi putih dengan sesekali memijit pelan pelipisnya.
"Masih sering kambuh lo?"
Iqbaal berjingkat kaget saat seseorang tiba-tiba saja bersuara tepat di sampingnya. Iqbaal diam beberapa detik dan baru menyadari siapa yang berada di sampingnya saat ini.
"Om Raffi?" Alis Iqbaal mengernyit, memastikan lagi apakah yang dia lihat benar atau salah.
"Kok di sini?" tanya Iqbaal dengan tawa tertahan. Ia tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini.
Raffi berdecak kesal dan menjitak gemas kepala Iqbaal. "Udah dibilang dari dulu jangan manggil Om, anjir! Gue berasa tua banget tau!"
Iqbaal tertawa pelan melihat reaksi yang ditunjukkan Raffi. Iqbaal memang sengaja memanggil Raffi dengan sebutan Om, hanya untuk menggoda saja.
"Kan lo emang Om gue, gimana sih lo?"
"Iya tapi kita cuma beda setahun. Jangan manggil gue Om atau lo gue gorok!" ancam Raffi tajam.
"Om makin galak," desis Iqbaal.
Raffi semakin mendekat, lalu merangkul Iqbaal diiringi dengan jitakan-jitakan gemas yang mendarat di dahi Iqbaal.
"Mentang-mentang udah lama nggak ketemu, lo jadi belagu banget ya!" Raffi semakin gencar menyiksa Iqbaal yang kini meronta minta dilepaskan. Ia tidak akan melepaskan Iqbaal sebelum Iqbaal memohon ampun.
"Iya-iya, Raffi ampun. Gue aduin ke Bunda loh ntar!" Iqbaal akhirnya memilih untuk mengalah.
"Ngadu aja sana!" Raffi melepaskan Iqbaal dengan sedikit kasar. Perlakuan ini tentu biasa untuknya dan Iqbaal. Ia dan Iqbaal memang sering seperti ini sejak kecil ketika bertemu.
Iqbaal menghela napas dan membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah Raffi. Iqbaal melirik Raffi dengan tatapan sengit, lalu membuka laci obatnya.
"Gue pikir lo udah sembuh. Taunya masih aja penyakitan," celetuk Raffi asal.
"Yang penting gue masih hidup," balas Iqbaal seraya meraih beberapa butir obatnya dan segelas air di atas nakaa
"Paling bentar lagi lo mati gara-gara overdosis obat. Hari-hari lo minum obat!" Raffi kembali berbicara asal dan diakhiri dengan gelak tawa.
Iqbaal menatap Raffi datar dan kemudian menggelengkan kepalanya. "Sialan lo! Nanti gue mati beneran lo, gue gentayangin."
Iqbaal meraih gelas berisi air dan kemudian menenggak obatnya diakhiri dengan air yang ditenggak sampai sisa setengah gelas.
Raffi diam memperhatikan Iqbaal yang masih menenggak obat yang tidak dia tahu apa nama dan fungsinya. Ada rasa iba setiap melihat Iqbaal meminum obat dan mengernyitkan kedua alisnya. Sejak beberapa tahun terakhir, Iqbaal melewati masa-masa seperti ini. Siapa yang tega melihat laki-laki tampan seperti Iqbaal harus kesakitan disetiap waktu? Tidak ada.
"Gue tidur sama lo ya malam ini?" Raffi menaik turunkan kedua alisnya saat Iqbaal selesai menenggak obatnya
Iqbaal menatap kearah Raffi dan kemudian menghela napas. "Iya deh, tapi jangan berisik, jangan nonton video aneh-aneh, jangan nonton video hentai, jangan ngorok, jangan suka ngambil guling gue. Pokoknya kelakuan lo yang absurd-absurd gitu ilangin dulu kalo mau tidur sama gue."
Raffi tertawa pelan dan mengangguk patuh sembari memberikan dua jempol ke hadapan Iqbal. "Siap bos!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Instinct [Completed]
Fanfiction"Kanker otak stadium akhir." Ketika mendengar vonis dokter, Iqbaal sudah tahu dunianya akan berubah sepenuhnya. Terlebih ketika ia mencoba bertanya lebih tentang penyakit itu dan penjelasan dokter semakin membuatnya jatuh. Iqbaal mencoba kuat, tapi...