Sasa menyuapi Iqbaal jeruk dan memotong kan apel yang sebelumnya sudah dia kupas. Iqbaal tidak suka kulit apel dan meminta Sasa untuk mengupasnya terlebih dahulu. Akhirnya gadis itu kembali tahu apa yang tidak disukai Iqbaal.
Iqbaal yang setengah duduk di brankar rumah sakit hanya menurut saja saat Sasa terus menyuapinya. Lagipula, pergelangan tangannya patah yang membuatnya tidak bisa makan sendiri. Dia tidak sadar sebelumnya karena tidak merasa sakit sama sekali. Mungkin terkena besi panjang yang dipukulkan preman kemarin.
Beberapa jam lalu, saat Iqbaal pingsan di pelukan Sasa. Gadis itu langsung menelepon ambulance dan membawa Iqbaal kerumah sakit. Untungnya Iqbaal tidak apa-apa, hanya tadi melakukan operasi kecil pemasangan pen di tangannya. Ia bisa dibilang nekat, karena main setuju saja melakukan operasi pemasangan pen di tangan Iqbaal tanpa persetujuan orangtua Iqbaal.
Awalnya, ia memang ingin menghubungi orangtua Iqbaal dulu sebelum menyetujui operasi Iqbaal, tapi ia merasa itu akan memakan waktu yang lama. Dan dia tidak suka melihat orang yang dia sayang kesakitan.
Sekarang, sudah pukul dua pagi. Iqbaal sudah sadar sejak satu jam yang lalu dan laki-laki itu merasa lebih baik dari pada sebelumnya. Iqbaal bahkan sempat protes pada Sasa yang membawanya kesini, tapi dia langsung diam saat Sasa mengatakan dia habis dioperasi.
"Cewek aneh," panggil Iqbaal setelah menelan potongan buah apel.
Yang dipanggil menoleh dan tersenyum kelewat manis.
"Tolong jangan kasih tau Ayah ataupun Bunda tentang kenapa gue bisa kayak gini, bilang aja kalau tadi kanker gue kambuh dan gue kecelakaan." Iqbaal menatap Sasa penuh harap. Ia tidak mau mengaku bukan tanpa alasan. Kalau dia mengaku tadi bertengkar dengan Danu yang dibantu preman, bisa-bisa Ayahnya mencari Danu sampai ketemu dan selanjutnya Iqbaal yakin tidak akan baik.
"Terus, gue harus ngomong apa sama Tante Rike soal pemasangan pen di tangan lo?"
"Ya bilang aja kalau tadi tangan gue kelindes mobil atau truk gitu," jawab Iqbaal asal. Alasan itu muncul begitu saja tanpa dia pikirkan sebelumnya.
"Gila lo?! Omongan itu doa, Bunny!" bentak Sasa, kesal. Dia tidak suka dengan alasan yang dibuat Iqbaal, karena itu sama saja berdoa. Kata orang kan, ucapan itu doa.
Iqbaal berdecak dan menyentil dahi Sasa sampai gadis itu mengaduh. "Cuma alesan doang, Idiot. Emang lo mau Ayah gue tau kalau gue abis berantem sama Danu, terus Ayah nyariin Danu sampai ketemu dan lo tau akhirnya apa? Enggak kan? Gini-gini, gue masih punya hati."
Sasa mencebikkan bibirnya kesal. Wajahnya berapaling dari Iqbaal dan tangannya saling berkaitan menahan kesal. Alasan Iqbaal itu terlalu mengerikan di matanya. Dan dia benar-benar tidak suka.
"Ayah nggak pernah suka liat gue disakiti sama orang. Ayah bakal cari orang itu sampai ketemu dan ngebales semua perbuatannya dengan yang setimpal. Gue nggak mau Ayah tau kalau tadi gue berantem sama Danu yang ternyata mantan lo. Gue nggak mau Ayah ikut campur, jadi gue mohon lo ngerti." ujar Iqbaal pelan.
Sasa bergumam tidak jelas, masih saja memprotes alasan yang akan digunakan Iqbaal kalau orang tuanya bertanya.
"Nurut aja kenapa, sih? Nggak usah ngajak berantem gue lagi lo." Iqbaal menatap Sasa kesal, melihat gadis itu yang terus saja bergumam tidak jelas karena memprotes alasannya.
Sasa menghela napas, ditatapnya Iqbaal dalam-dalam seolah memberitahu apa yang tengah ia rasakan. Perasaan yang belum juga hilang sejak tadi. Instingnya memberi sinyal kalau sebenarnya Iqbaal berada di sini bukan hanya karena Danu, tapi ada satu orang lagi yang entah kenapa Sasa tiba-tiba mencurigainya.
"Maafin gue, Bunny. Gue janji, gue nggak akan bikin lo kayak gini lagi," ucap Sasa lirih.
"Maksud lo?" tanya Iqbaal, alisnya bertaut dalam menatap Sasa yang perlahan menundukkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Instinct [Completed]
Fanfiction"Kanker otak stadium akhir." Ketika mendengar vonis dokter, Iqbaal sudah tahu dunianya akan berubah sepenuhnya. Terlebih ketika ia mencoba bertanya lebih tentang penyakit itu dan penjelasan dokter semakin membuatnya jatuh. Iqbaal mencoba kuat, tapi...