Iqbaal mengerjapkan saat cahaya lampu menyorot tajam kedua matanya. Alisnya mengernyit karena rasa pusing masih mendominasi kepalanya yang terasa berat.
"Udah bangun? Alhamdulillah, gue takut banget lo mati," ucap Sasa sembari menampilkan cengirannya yang menyebalkan.
Iqbaal menarik napas dan berusaha bangun dari posisinya. Tangannya segera menepis tangan Sasa yang berniat membantunya. Ia tidak suka di perlakukan seperti itu, seolah-olah ia lemah dan harus di kasihani.
"Lo nggak papa, kan? Kenapa lo bisa tiba-tiba pingsan gitu? Lo sakit ya?" tanya Sasa dengan suara lembut dan berusaha meredam rasa gemasnya setiap melihat wajah tampan Iqbaal agar Iqbaal tidak merasa risih padanya untuk saat ini.
Iqbaal tidak menjawab. Tidak mungkin dia memberitahu Sasa kalau dia punya kanker otak. Gadis itu pasti akan berulah dengan segala kehebohannya yang berlebihan.
"Ngapain lo di sini?" tanya Iqbaal dingin.
Sasa menghela napas. "Tadi kita ketemu di depan toilet, gue ngeliat lo kayak kesakitan banget, terus tiba-tiba lo pingsan. Ya udah gue bawa lo ke UKS," jawabnya
"Sumpah! Lo itu bikin gue panik tau nggak." sambungnya lagi.
Iqbaal mengalihkan pandangannya. Menyesal karena Sasa melihat sakitnya kambuh, dia tidak ingin dipandang dengan tatapan kasihan.
"Lo kenapa, Baal? Lo sakit? Sakit apa? Please, jangan bilang kalau kanker-"
"Lo ngedoain gue kanker?" tanya Iqbaal, memotong tebakan Sasa yang sebenarnya tepat.
"Bukan gitu, Bunny. Gue cuma nebak. Setahu gue, kalo orang mimisan terus pingsan tiba-tiba itu leukimia."
Iqbaal menggeleng, menurunkan kedua kakinya dari ranjang UKS dan berniat kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran yang sudah di mulai sejak sepuluh menit yang lalu.
Baru saja turun dari ranjang, Sasa sudah menahannya. Memintanya kembali untuk berbaring dan istirahat.
Alasannya karena wajahnya masih terlihat pucat dan Iqbaal menurut karena tidak mau mendengar petasan yang keluar dari mulut Sasa. Terlebih ketika kepalanya masih terasa pening.
"Minum dulu, dari tadi lo belum minum. Gue udah buatin lo teh anget." Sasa mendekatkan cangkir teh hangat ke arah Iqbaal.
Iqbaal meminum sedikit teh hangat yang terasa sedikit hambar, lalu meminta Sasa menjauhkannya lagi.
"Udah enakan?" tanya Sasa sembari meletakkan cangkir teh itu kembali ke atas nakas.
"Lain kali jangan bikin gue panik lagi, ya! Gue takut liat lo kayak tadi," lirih Sasa, tangannya mengusap kening dan pelipis Iqbaal yang berkeringat.
"Gue nggak papa, nggak usah lebay kali." ucap Iqbaal ketus.
"Gue nggak percaya," sahut Sasa.
"Gue yang ngerasain, kenapa lo yang repot?"
"Ya karena gue sayang sama lo," jawab Sasa dengan cepat dan membuat Iqbaal bungkam.
Sasa menghela napas pendek, jemarinya terangkat untuk menyisir rambut Iqbaal yang berantakan. Sebuah perhatian kecil yang tanpa Sasa sadari akan membekas abadi.
"Istirahat ya," Sasa tersenyum lembut.
"Biar kepalanya nggak sakit lagi." katanya lagi.
Iqbaal diam menatap Sasa yang memperlakukannya begitu manis. Ini pertama kalinya ada gadis yang memperlakukannya semanis Sasa setelah hari itu. Setelah gadis masa lalunya pergi dan membuat dunianya berubah total.
KAMU SEDANG MEMBACA
Instinct [Completed]
Fanfiction"Kanker otak stadium akhir." Ketika mendengar vonis dokter, Iqbaal sudah tahu dunianya akan berubah sepenuhnya. Terlebih ketika ia mencoba bertanya lebih tentang penyakit itu dan penjelasan dokter semakin membuatnya jatuh. Iqbaal mencoba kuat, tapi...