Instinct -21

11K 1.4K 268
                                    

"Sepanjang hidupku tak kurelakan dirimu tuk tinggalkan aku."
-Mario G. Klau ~ Sepanjang Hidupku-

***

Sasa duduk diam menatap Iqbaal yang baru saja tidur lima menit yang lalu. Tadi, saat Raffi menjemputnya di Dufan,  Iqbaal terlihat sangat kesakitan tapi coba dia tahan. Sasa sedih melihat Iqbaal sakit seperti ini, rasanya dadanya sesak dan dia sulit bernapas.

"Lebih baik lo pulang dulu, Iqbaal udah baik-baik aja, kok." Raffi masuk dan duduk di samping Sasa.

Sasa menoleh ke arah Raffi sekilas, lalu kembali menatap Iqbaal. "Bunny sebenernya kenapa sih? Dia tadi kesakitan banget sampe nggak bisa ngomomg. Gue takut liat Bunny kayak tadi." Sasa bertutur lirih. Suaranya bergetar tanda paniknya masih belum reda.

Raffi menghela napas, dia mengerti bagaimana perasaan Sasa melihat Iqbaal mati-matian menahan kanker yang tiba-tiba menyerangnya. Raffi menyentuh bahu Sasa lembut, berharap sentuhannya itu bisa sedikit mengurangi rasa panik dalam diri Sasa dan membuat gadis itu jauh lebih tenang.

"Iqbaal udah biasa kayak gini. Jadi, lo juga harus terbiasa," kata Raffi lembut.

Alis Sasa berkerut dalam, tidak mengerti apa maksud dari kata 'terbiasa' yang Raffi katakan.

"Maksudnya?" tanya Sasa bingung.

Raffi beranjak dari duduknya sambil mengirimkan kode pada Sasa untuk pergi ke balkon kamar. Ia tidak mau mengganggu Iqbaal yang sedang terlelap.

Raffi berjalan lebih dulu dan Sasa mengekor di belakangnya. Lelaki itu menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar dari pepohonan yang berada di sekitar komplek.

"Lo tau kenapa waktu itu Iqbaal pingsan di sekolah?" tanya Raffi sambil melirik ke arah Sasa.

"Gue tau, tapi yang gue tau Iqbaal nggak papa." jawab Sasa.

"Apa Lo tau penyebab dia pingsan?" Raffi bertanya lagi.

Sasa menggeleng. Karena, dia memang tidak tahu dan Iqbaal tidak memberitahunya sama sekali apa penyebab laki-laki itu pingsan dan membuatnya panik setengah mampus.

"Kanker otak," Raffi menatap Sasa intens. "Iqbaal penderita kanker otak ... stadium akhir." sambungnya.

Sasa terpaku mendengarnya. Lidahnya kelu tak mampu berbicara, kakinya lemas dan memaksanya berpegangan lebih erat pada pinggiran balkon.

"Kita tinggal nunggu aja, Sa. Selama ini Kak Rike sama Mas Heri udah berjuang banget buat ngobatin sakitnya Iqbaal. Tapi, hasilnya nihil." ucap Raffi sendu.

Sasa masih bergeming. Dia hanya bisa diam mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Raffi. Sebuah kenyataan yang telah lama membuatnya penasaran, akhirnya hari ini dia tahu faktanya.

"Please, Kak, bilang sama gue ini bohong," lirih Sasa. Air matanya menggenang di pelupuk mata, lalu berjatuhan ketika mata cantiknya berkedip.

"Gue nggak bohong, Sa ... Iqbaal sekarat." desis Raffi.

Sasa terdiam. Dadanya seketika sesak, kerongkongannya tercekat kuat, dan dia teringat tentang diary Iqbaal. Ada satu halaman yang baru dia buka tadi malam.

Di halaman itu, Iqbaal menceritakan bagaimana dia menahan sakit dan tanpa sadar menyakiti dirinya sendiri. Awalnya, Sasa bertanya-tanya tentang maksud tulisan itu, dan hari ini dia tahu jawabannya.

"Kenapa lo diem? Lo nggak mau lagi temenan sama Iqbaal, gara-gara dia punya penyakit yang sulit, bahkan kecil banget kemungkinannya bisa sembuh?" tanya Raffi dengan senyum sendu saat melihat Sasa terdiam dan hanya bisa menangis sedih.

Instinct [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang