Pagi ini dua lelaki sedang jogging mengelilingi komplek perumahan yang ditinggali oleh salah satunya. Banyak juga warga di kompleks tersebut yang berolahraga di pagi hari ini, mungkin berhubung weekend mereka menyempatkan diri berolahraga atau sekedar menghirup udara segar pagi.
Kenan dan Ferro berlari-lari kecil dengan sepatu kets yang melapisi kaki mereka. Tak lupa juga jaket parasut yang mereka kenakan, dipadu dengan celana pendek selutut. Keduanya berlari beriringan. Memang hanya mereka berdua yang jogging, karena kedua temannya yang lain masih tidur karena semalam bergadang bermain ps. Bahkan dibangunkan untuk solat subuh saja Rey dan Titan tak bergerak dari tempat tidur. Mereka tidur seperti orang mati, tidak peduli tubuhnya diguncang kuat oleh Kenan, mereka tetap larut di alam mimpi.
Letih berlari, Kenan mengajak Ferro untuk beristirahat di taman komplek yang mereka lewati. Sebelumnya, mereka singgah sebentar di warung yang juga ada di dekat situ untuk membeli air mineral. Mereka berdua duduk beristirahat di bangku panjang yang ada di taman itu. Kenan meneguk air mineralnya hingga sisa setengah, sedangkan Ferro sudah duluan habis sekali minum.
Kenan melihat ke sekeliling taman tersebut, banyak juga yang hanya berlari mengitari taman ini. Cuaca hari ini begitu mendukung untuk melakukan aktifitas apapun, termasuk jogging. Dan tak sengaja Kenan menangkap sosok perempuan yang akhir-akhir ini selalu berangkat dan pulang sekolah dengannya, ya walaupun tidak setiap hari juga mereka seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Inara, gadis yang mencuri perhatiannya dari awal berjumpa.
Gadis itu terlihat sedang bersama dengan adiknya. Sama juga seperti Kenan sekarang, duduk di bangku taman tetapi yang ada di sudut sebelah sana. Cukup jauh dari tempat Kenan berada. Kenan memperhatikan gadis itu yang sedang berbicara pada adik perempuannya yang ada di sampingnya. Kenan sedikit menyunggingkan senyumnya, mengingat bahwa mereka semakin akrab sekarang. Ditambah lagi, mereka jadi sering bersama karena mengungkap sebuah kasus yang dialami oleh Lena.
Tiba-tiba Kenan menjadi ingat akan sesuatu. Ia harus kembali membicarakan masalah ini dengan Inara, karena mereka juga harus bisa segera mengungkap tersangka sebenarnya agar arwah Lena tenang.
Ferro yang merasa sedari tadi mereka berdua hanya berdiam diri tanpa bicara, ia menoleh menatap Kenan. Ia melihat mata Kenan itu fokus pada satu titik, jadi ia mengikuti arah pandangan cowok itu. Ferro langsung melihat juga ada Inara ada di taman itu.
"Oh ada Inara, pantesan matanya ngga bisa dikontrol." Ucap Ferro sembari manggut-manggut.
Kenan yang mendengar itu pun langsung menoleh ke sumber suara. Melihat ke arah Ferro yang sudah menatap ke arah lain.
"Inara satu komplek sama lo? Tapi kok pas gue anter dia pulang, jalannya beda sama jalan ke rumah lo." Ujar Kenan heran. Beberapakali ia mengantar Inara pulang tapi tidak tahu kalau satu komplek dengan Ferro.
"Nggak sekomplek, dia tinggal di komplek sebelah." jawab Ferro.
Kenan mengerutkan keningnya lalu bertanya, "Masa sih? Kenapa bisa nyasar ke taman komplek rumah lo?"
"Ya ngga tau, suka-suka dia lah. Kok lo yang repot dah," ujar Ferro mengendikkan bahunya.
"Mau kemana lo?" tanya Ferro ketika melihat Kenan yang sudah berdiri dari bangku taman.
"Mau nyamperin Inara dulu, lo kalau mau pulang duluan ngga papa. Ntar gue nyusul," jawabnya kemudian berjalan meninggalkan Ferro yang masih duduk disana.
"Ye si kupret, lupa temen kalo ketemu doi."
000
Kenan sekarang sudah duduk bersama dengan Inara di bangku taman itu. Kila sudah pulang duluan dengan sepedanya, karena ia tak mau menjadi obat nyamuk antara kakaknya dan Kenan. Ia juga sudah mengenal Kenan, karena lelaki itu sering mengantar Inara pulang. Terlebih lagi orangtuanya mengenal Kenan dan juga keluarganya.
"Menurut gue kita harus nanya lagi ke Levin," ucap Inara.
"Levin udah jelasin ke kita kemarin." Balas Kenan menatap wajah Inara.
"Iya, tapi bisa aja kan ada hal lain yang belum dia kasih tau kita tentang Lena. Kita coba dulu, kita juga ngga bisa ngambil kesimpulan dari satu orang aja. Lo mau kata Pak Wira tersangkanya gara-gara dia ngga mau jawab pertanyaan kita waktu itu?" ucap gadis itu panjang.
"Gue ngga nuduh pak Wira. Oke besok kita tanya lagi sama Levin."
Setelah itu keduanya terdiam. Tak ada lagi yang dibicarakan, sebenarnya ada saja topik yang bisa mereka bahas tetapi keduanya sedang merasakan sesuatu yang berbeda kembali terjadi di dalam benak masing-masing. Padahal mereka sudah sering sekali bertemu hingga seakrab ini, tapi tetap saja rasa canggung masih melingkupi.
"Emm gue mau pulang deh, maksudnya ke rumah Ferro." Ucap Kenan seraya berdiri.
"Lo nginep di rumah Ferro?" tanya Inara, lelaki itu pun mengangguk.
"Gue anter ya," tawar Inara tetapi nadanya seperti tidak meminta persetujuan dari Kenan.
"Ngga usah, gue bisa jalan kaki. Rumahnya ngga jauh, lagian kalo lo nganter gue pake apa?"
"Tuh ada sepeda gue, lo bisa berdiri di besi yang ada di samping kiri kanan roda belakang. Atau lo yang gonceng, gue yang berdiri di belakang."
Kenan mengangguk, ia juga tak mungkin menolak Inara. Menurutnya ini kesempatan baik untuk lebih dekat dengan gadis itu. Kemudian keduanya meninggalkan taman dan menuju rumah Ferro untuk mengantarkan Kenan.
Kenan mengayuh pedal sepeda itu dengan pelan. Inara perpegangan pada pundaknya agar tak terjatuh. Keheningan meliputi mereka diperjalanan. Kenan pun tak tahan jika keadaan hening seperti ini, perasaannya kembali menjadi canggung kalau terus berdiam.
"Lo pernah ditembak cowok ngga?" tanya Kenan. Inara yang sedari tadi melamun langsung terkejut mendengar ucapan cowok yang memboncengnya itu.
"Lo nanya siapa?" Inara menanya balik dengan polosnya membuat Kenan sedikit terkekeh.
"Ya elo lah, siapa lagi?" ujar Kenan.
"Ya kali aja lo nanya setan yang lagi lo liat." Jawab Inara membuat Kenan lagi-lagi terkekeh.
"Waktu itu kan gue udah pernah bilang kalau gue ngga pernah pacaran." Lanjutnya lagi.
"Gue ngga nanya lo udah pernah pacaran atau belum, yang gue tanya itu lo pernah di tembak cowok ngga? Tembak dalam arti mengungkap perasaan, bukan tembak pistol." Kenan mengulang pertanyaannya yang belum di jawab Inara tadi.
Inara pun terkekeh mendengar kalimat akhir yang diucapkan Kenan. "Ya pikir aja, kalau ngga pernah pacaran ya berarti belum pernah di tembak lah."
"Kan nembak ngga mesti berujung dengan pacaran Na. Siapa tahu ada yang nembak lo tapi lo tolak," ujar Kenan.
"Ngga ada. Gue juga ngga peduli, hidup bukan tentang pacaran tapi tentang bagaimana kita menyikapi perasaan yang tumbuh di hati. Banyak yang katanya suka tapi ngga berani mengungkapkan."
"Curhat neng?" ujar Kenan dengan kekehan. Inara menepuk pundaknya pelan sembari terkekeh juga.
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di depan rumah Ferro. Kenan menyerahkan kembali sepeda itu kepada yang punya. Inara pun sudah duduk di jok sepedanya.
"Makasih ya," ucap Kenan sambil tersenyum.
"Selo aja, sekali-kali gue nganterin elo. Biasanya lo juga nganterin gue pulang sekolah, bahkan berangkat sekolah lo juga jemput gue."
"Udah kodratnya cowok kali anter-jemput cewek." Ujar Kenan terkekeh.
"Tukang ojek kali ah. Yaudah gue pulang dulu, bye." Inara kemudian mengayuh pedal sepedanya menjauh dari sana.
"Hati-hati."
Kemudian Kenan masuk ke dalam rumah Ferro masih dengan senyum di bibirnya.
Happy reading and enjoy guys
Jangan lupa vote dan komentar
Salam,
Wulan Purnamasari
KAMU SEDANG MEMBACA
INDIGO PAIR 1
HorrorInara dan Kenan memiliki kelebihan yang tak biasa. Dapat melihat sesuatu yang gaib adalah hal yang berbeda bagi kebanyakan orang. Inara sempat dijauhi oleh teman sekolahnya karena hal itu. Namun di SMA ini, ia tak lagi dijauhi. Ia akhirnya mendapatk...