"Ada apa ini?"
"Kenapa saya diikat seperti ini?" tanya pak Wira lagi. Ia menatap keempat siswa/i itu dengan bingung. Pak Wira mencoba untuk melepaskan ikatan pada tangannya tapi usahanya sia-sia.
"Maaf pak, kita tidak bermaksud kurang ajar pada bapak." Ucap Inara.
Pak Wira menatapnya datar, juga menatap Kenan.
"Saya tahu maksud kalian. Sudah saya katakan saya tidak tahu apapun."
"Mungkin bapak bisa berbohong dengan Asya ataupun Ferro. Tapi dengan saya dan Inara bapak tidak bisa bohong. Kita sudah tau semuanya pak," ujar Kenan.
Pak Wira terkekeh, " Kalau sudah tahu untuk apa kalian tanya lagi?"
"Karna kita butuh penjelasan dari bapak, dan bapak juga adalah orang tua dari Yugo." Tambah Inara.
"Tau darimana kalian tentang anak saya?" tanyanya terkejut.
"Saya kan sudah bilang pak, kita tahu semuanya. Bapak tidak perlu tahu kita dapat informasi darimana, yang terpenting bapak mau bercerita tentang kejadian setahun lalu."
"Tidak. Saya tidak akan mengatakan apapun."
Inara menghela napas pasrah. Ia tak tahu lagi bagaimana harus membujuk pak Wira agar bercerita. Inara menatap Kenan sendu. Tapi Kenan mencoba meyakinkan pada Inara kalau mereka akan berhasil.
Kenan maju selangkah agar lebih dekat dengan pak Wira. Ia berjongkok di hadapan guru seni budaya itu.
"Pak tolong kasian Lena pak. Bapak ngga mikir bagaimana sakitnya keluarganya saat Lena pergi untuk selama-lamanya. Bagaimana kalau hal itu terjadi pada bapak, pasti bapak akan merasakan hal yang sama. Lena butuh keadilan, keluarganya pun harus tau semua ini."
"Justru itu yang saya takutkan." Bentaknya dihadapan Kenan. Inara dan yang lainnya pun sempat terkejut dengan suara keras itu, tapi tidak dengan Kenan. Ia sudah bisa menduga kalau reaksi pak Wira akan seperti ini.
Tanpa mereka sadari air mata pak Wira meluncur begitu saja di pipinya. Orang tua itu menangis. Dengan segera Kenan berdiri dan melepaskan ikatan pada tangan pak Wira. Setelah ikatan itu dilepaskan, pak Wira menutupi wajahnya, menyembunyikan kesedihan yang selama ini ia rasakan.
Kenan menatap iba, ia pun tak mengira kalau pak Wira akan sesedih ini. Dibiarkannya pak Wira menangis sampai nanti ia relaks. Beberapa menit kemudian pak Wira sudah menatap mereka lagi, tangan yang sedari tadi menutupi wajahnya kini sudah tidak lagi. Air matanya pun mengering.
"Selama ini saya berusaha tegar. Saya sangat menyesali diri saya sendiri yang tidak bisa mendidik anak dengan benar." Ujar pak Wira. Tatapannya tertuju ke lantai dan terihat kosong.
"Ketika Yugo berumur 14 tahun, kami mengalami kecelakaan mobil. Saya dan dia selamat, tetapi Allah mengambil nyawa istri saya, ibunya Yugo. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, istri saya meminta saya untuk berjanji mendidik dan menjaga Yugo dengan baik. Dan saya sudah berjanji. Tetapi saya gagal menepati janji saya, saya gagal menjadi orang tua bagi Yugo." Ujar pak Wira. Air matanya pun kembali mengalir melewati pipinya yang sudah mulai keriput itu karena termakan usia.
"Setelah kematian ibunya Yugo, saya jadi bingung untuk apa hidup ini. Saya bermain perempuan dan meninggalkan Yugo tanpa kasih sayang orangtua sedikitpun. Pulang larut malam, tidak peduli dengan Yugo. Hingga akhirnya Yugo menjadi anak broken, ia memakai obat-obatan dan juga minum alkohol. Itu semua karena saya. Saya benci diri saya sendiri." Ucap Pak Wira panjang. Ia memukuli pahanya dengan kuat, menyesali semua perilakunya yang tak memerhatikan anak sematawayangnya.
Kenan mencoba menghentikan pak Wira yang memukuli dirinya sendiri. Dengan kuat Kenan menahan tangan pak Wira agar berhenti memukuli dirinya sendiri. Pergerakan pak Wira melemah, ia sudah tak berdaya lagi mengingat keburukan yang terjadi karenanya.
Tanpa disadari Inara mendekat, dan tanpa mereka semua tahu kalau yang ada di raga Inara kini adalah Lena. Ia berjalan mendekati pak Wira, kemudian berlutut dihadapan lelaki tua itu.
"Pak," ucapnya lirih.
Pak Wira menatap Inara, tepat menatap manik mata cewek itu.
"Lena?"
Dengan cepat pak Wira mendirikan tubuh Inara yang berisi roh Lena itu. Memeluk gadis itu dengan rasa sangat bersalah. Ia tak tahu harus meminta maaf seperti apa.
"Maafin bapak Lena. Semua ini kesalahan bapak. Hukum saya saja, jangan hukum Yugo. Ia sudah tidak berdaya lagi." Rintih pak Wira. Kemudian Lena melepaskan pelukannya dengan pak Wira yang sudah dianggapnya sebagai orang tua sendiri.
"Yugo ke-napa pak?" tanya nya dengan terbata.
Pak Wira tak kuasa menahan tangisnya, ia mengusap air matanya dengan jari tanganya. "Yugo berada di rumah sakit jiwa, nak."
000
Kini pak Wira mengantarkan Lena untuk bertemu dengan Yugo. Kenan, Asya dan Ferro pun tentu saja ikut karena raga itu adalah milik Inara. Tak mungkin mereka meninggalkan Inara begitu saja. Apalagi Kenan, ia sangat khawatir dengan Inara sekarang. Ia sungguh takut akan terjadi apa-apa dengan gadis itu.
Setelah melewati beberapa lorong yang ada dirumah sakit jiwa itu akhirnya mereka sampai di taman yang ada di dalam rumah sakit itu. Terlihat banyak orang yang terganggu kejiwaannya sedang sibuk dengan dengan diri mereka sendiri.
"Itu Yugo." Ujar Pak Wira, menuntun mereka untuk sampai di dekat cowok itu.
Cowok itu sedang duduk dikursi taman sendirian dengan boneka beruang besar berwarna coklat muda yang ada dalam pelukannya. Terlihat Yugo sedang berbicara sendiri pada boneka itu, seolah-olah boneka itu adalah manusia baginya.
"Aku kangen kamu tau," ujarnya sambil memeluk boneka itu dengan erat. Tak memerdulikan kehadiran orang-orang yang ada di dekatnya. Ia pun sepertinya tidak sadar kalau ada orang baru yang datang menghampirinya.
"Jangan ngambek dong, nanti aku bakal beliin kamu es krim deh."
Melihat keadaan Yugo sekarang mereka jadi mengerti betapa sengsaranya juga Yugo atas perlakuannya. Kenan, Asya, Ferro bahkan Lena pun tak menyangka kalau Yugo akan gangguan jiwa seperti sekarang yang mereka lihat. Lena meneteskan air matanya yang sedari tadi ditahannya. Rasa perih tak lagi dapat di bendungnya ketika melihat keadaan Yugo yang seperti ini.
"Nak jangan begitu ya, ini bukan Lena tapi boneka." Ujar Pak Wira dengan lembut. Ia pun tak kuasa melihat keadaan anaknya, semakin hari tak ada perubahan membaik dari Yugo. Hanya begitu saja, ia tetap membayangkan kalau boneka beruang itu adalah Lena.
"Jangan sentuh dia, ini Lena bukan boneka." Ujar Yugo tegas. Ia kembali memeluk boneka itu dengan erat sembari memejamkan matanya.
"Maafin aku Len, maafin. Aku sudah melakukan hal yang jahat sama kamu. Maafin aku Len, maafin aku." Ujarnya menangis memeluk boneka itu dengan eratnya.
Mendengar itu air mata Lena semakin menjadi keluar dengan derasnya. Ia melangkah hingga sampai tepat dihadapan Yugo.
"Yu-go," panggilnya terbata.
Cowok itu langsung menatap gadis dihadapannya begitu mendengar namanya di panggil.
"Ini aku, Lena." Ucapnya lagi.
"Le-lena? Kamu Lena?" tanya Yugo sambil menunjuk wajah Lena alias Inara.
Tanpa balasan Yugo langsung berhambur memeluk raga Inara itu. Ia memeluknya dengan erat, seperti tak ingin di lepasnya, ia takut kehilangan.
"Maafin aku Len, dosa aku besar. Allah pasti marah besar sama aku, aku takut Len." Ucap Yugo seperti anak kecil. Kemudian ia melepaskan pelukannya dari gadis itu, dan kembali terduduk di kursi taman itu.
Yugo menggigiti kuku jarinya, matanya memerah akibat menangis. Ia juga terlihat seperti orang ketakutan. Lena duduk di samping cowok itu, membelai kepalanya dengan lembut dan menggenggam tangan Yugo.
"Aku maafin kamu. Jangan kayak gini Go, kamu harus relakan semuanya. Jangan mikirin aku lagi, plis kamu harus sembuh. Kamu itu ngga sakit jiwa, hanya saja kamu terlalu terpuruk sama kesalahan kamu sendiri. Mulai sekarang jangan mikirin aku lagi apapun itu, kembali ke kehidupan normal kamu. Aku juga minta maaf."
TBC
Semoga suka sama part ini yaa
Salam hangat,
Wulan Purnamasari
KAMU SEDANG MEMBACA
INDIGO PAIR 1
TerrorInara dan Kenan memiliki kelebihan yang tak biasa. Dapat melihat sesuatu yang gaib adalah hal yang berbeda bagi kebanyakan orang. Inara sempat dijauhi oleh teman sekolahnya karena hal itu. Namun di SMA ini, ia tak lagi dijauhi. Ia akhirnya mendapatk...