Sunday (1)

6K 419 36
                                        


Sebagai anak kelas dua SMP yang normal, seharusnya Dio paling benci untuk bangun pagi. Terutama di hari minggu seperti sekarang ini. Tapi entah kenapa, sudah menjadi kebiasaannya sejak ia pindah untuk bangun pagi. Seperti hari-hari sebelumnya, Dio bertugas membuka gerbang rumah dan menonton kartun setelahnya.

Tapi pagi ini ada yang berbeda. Ia melihat Kisha, kakaknya berada di depan tv, menonton acara tidak jelas yang tidak begitu kakaknya perhatikan. Sebagai adik yang jahil dan suka menggoda kakaknya, Dio mengendap-endap dari belakang dan berteriak keras di telinga Kisha yang sedang bengong.

"DOR!"

"Uwaaaa!"

Seperti dugaannya, Kisha berteriak terkejut dan melemparkan bantal sofa yang ia peluk sedari tadi pada adiknya. Dio tertawa dan melemparkan kembali bantal itu pada Kisha, merasa puas melihat reaksi kakaknya.

"Apaan sih lu, anak gila! Mau buat gue jantungan pagi-pagi?!"

"Makanya jangan bengong, harusnya lu bersyukur gue kagetin jadi ngga kesambet!" sahut Dio masih tertawa

"Mending gue kesambet tapi masih idup daripada jantungan gara-gara tingkah lo!"

Dio duduk disamping Kisha, mengambil remote tv dan mengganti ke kartun kesayangannya. Diam-diam ia memperhatikan kakaknya yang terlihat gelisah, beberapa kali Kisha memperhatikan ponselnya yang sama sekali tidak mempunyai notif untuk dibaca. Kakaknya hanya membuka kunci, menggeser menu, membuka pesan, menutup dan menguncinya lagi.

Dan hal itu berlangsung selama ia menonton. Jengah dan penasaran, Dio memberanikan diri bertanya. "Lu ngapa sih kak?"

"Apanya yang ngapa?"

"Malah nanya balik. Lu nungguin orang?"

"Ngga."

"Terus ngapa lu kayak nungguin orang ngasih notif ke hape lu?"

"Bawel ah, nonton aja tuh kartun lo!" sergah Kisha

"Eh, kak. Lu gimana ama Kak Reo? Atau ama si serem itu?"

Jengkel, Kisha melempar bantal sofa pada adiknya dan berlari ke kamarnya. Tidak peduli dengan teriakan Dio yang berisi ancaman kosong. Kisha menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk kesayangannya dan berguling di dalam selimut yang nyaman dan hangat. Lagi-lagi, entah untuk yang ke berapa kali tangannya membuka ponselnya.

Tidak ada apa-apa. Lagi.

Sejak pesan yang dikirim kemarin oleh Reo, cowok itu sama sekali tidak mengirim apapun lagi. Tidak ada pesan, tidak ada telepon. Seharusnya ia merasa senang karena tidak ada teror, tapi sebaliknya, ia merasa ada yang janggal.

Game Over.

Darimana cowok itu tahu? Ia benar-benar yakin, tidak ada orang lain selain para pelayan cafe tersebut. Bahkan di cafe itu, tidak ada pelanggan selain ia dan Daniel. Lalu, darimana Reo tahu?!

Kisha menendang-nendang selimutnya dengan jengkel. Ia seharusnya menyalahkan Daniel karena membuatnya batal mematahkan hidung sombong Reo dengan memenangkan satu saja pertaruhan. Lebih baik ia bertahan saja di rumahnya, tidak menemui Daniel. Jika cowok itu mendobrak rumahnya, ia akan berteriak. Tidak mungkin para tetangga tidak mendengarnya.

Kisha merutuki diri sendiri. Seharusnya ia bisa berpikir jernih saat itu. Seharusnya ia tahu konsekuensinya.

Tiba-tiba saja ketukan di pintu kamarnya membuat Kisha terkejut. Dio berteriak memanggilnya dan meminta untuk masuk ke kamarnya yang langsung ditolak Kisha. Ia mengunci pintu kamarnya, tahu Dio pasti akan menyusul ke dalam kamarnya jika tidak ia lakukan.

It's a game, baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang