Part 2 - Meet again

4.4K 504 14
                                    

Hai!
I'm back! Maaf ya kalau sedikit, aku baru mulai nulis lagi setelah dua tahun yang lalu nulis. Aku dulu author di webnya ka ira, adakah yang ingat cerita end dan mianhae? Hmm, Jangan lupa vote dan comment ya guys! Love you😍😍😍

.
.

Ruangan berukuran cukup luas itu tedengar ricuh. Gelak tawa bercambur dengan celotehan menghapus keheningan. Bau alkohol tersebar di seluruh penjuru ruangan.

"Yya, kapan oppa-mu itu kembali?"

Sulli menyahut, menanyakan keberadaan kekasih tersayang sahabatnya.

"Hm, entahlah. Mungkin minggu depan"

Soojung menjawab. Ia mendesah, merindukan sosok kekasihnya. Sudah hampir satu bulan kekasihnya menjalankan dinas luar negerinya. Mengkontrol anak cabang perusahaan yang di kelolanya di negeri Paman Sam.  Sejak saat itu, pria tampannya sulit untuk dihubungi karena kesibukan yang melandanya.

"Jangan frustasi seperti itu, Jungie. Kekasih tampanmu sangat sibuk, maklumi saja"sahut Jiyeon, mencoba memberi semangat.

Soojung menghela nafasnya. Sudah menjadi resiko untuk dirinya berkencan dengan pria mapan dan pekerja keras.

"Aku tahu."

"Sudahlah jangan bersedih. Let's start the party!"

**

"Delay?"

Jieun mendesah. Menjawab dengan anggukan untuk pertanyaan dari wanita yang duduk di sampingnya.

"Ada apa dengan wajahmu?"

Jieun menggeleng pelan. Ia tidak mungkin berkata jujur mengenai penyebab wajah murungnya ini.

"Aku tidak menerima jawaban bohongmu, Nona Lee"

"Aku hanya merindukan orang tuaku, Mrs. Suez. Aku benci perubahan jadwal seperti ini" Jieun mendengus, mengalah kepada wanita keras kepala bernama Sooji.

Sooji terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah memisahkan Jieun dengan kedua orang tuanya karena kepindahan dirinya ke New York.

"Maaf karena sudah membuatmu pergi jauh dari keluargamu, Jieun-ah"

Jieun tersentak, ia sontak memutar kepalanya untuk melihat Sooji. Sudah berapa lama wanita di sampingnya ini absen memanggil nama panggilannya?

"Hei, jangan merasa bersalah seperti itu, Ji."

Jieun meraih jemari Sooji, berharap wanita itu akan menatap wajahnya. Sooji semakin menundukkan kepalanya.

"Aku pergi sebentar"

Sooji bergegas pergi, meninggalkan Jieun yang menatap punggungnya lirih.

**

Sooji memijit kepalanya yang terasa pening. Ia merasa terbebani karena kehidupan malangnya ini juga berimbas kepada orang di sekitarnya. Sebut saja Jieun, karena terpaksa mengikutinya akibat tuntutan pekerjaan ia harus dipisahkan dari sanak keluarga.

Sooji memang tidak melarang jika Jieun ingin mengungjungi keluarganya di Korea, tetapi keadaan terkadang mengharuskan wanita mungil itu di sampingnya. Terlalu banyak pekerjaan yang ia lakukan selama di New York, terlebih ketika anak perusahaan ayahnya meluncurkan akademi sekolah internasional. Sooji harus bekerja keras mengurus segala pekerjaannya, dan jika tidak ada Jieun maka jadwalnya akan berantakan. Oh, sudah seharusnya ucapan terima kasih didapatkan oleh Jieun.

"Aku juga merindukan Korea, Jieun"

Sooji berlirih. Langkah kakinya semakin melemas, ia berjalan menuju tempat menunggunya bersama Jieun setelah menghabiskan secangkir espresso. Pandangannya mengabur, mengerjapkan kedua matanya berharap penglihatannya kembali normal. Tanpa sadar tubuhnya menabrak tubuh tegap seorang lelaki.

"Maaf.."

Sooji berucap pelan. Focusnya sudah hampir terenggut, kepalanya terasa begitu pening. Langkah lambatnya terhenti ketika suara berat menyerukan namanya.

"Bae Sooji?"

Tubuh Sooji menegang, ia hendak memutar tubuhnya untuk memastikan namun saraf motoriknya tak berfungsi dalam sekejap.

"Ah, kau memunculkan dirimu lagi, Sooji-ssi." Suara itu kembali terdengar. "Penampilanmu sungguh berbeda, aku hampir tidak mengenalimu, Sooji-ah"

Kali ini bukan sekedar suara berat yang Sooji dengar. Wajah dan tubuh tegap pria itu telah berdiri tepat di hadapannya. Tubuh miliknya semakin bergetar, ia meringis merasakan rasa sakit yang menyerang kepalanya.

"B..b..bukan.. ak..aku" lirih Sooji pelan.

"Hidupmu baik, gayamu juga glamor, wah kau mempunyai kehidupan yang luar biasa. Jangan pernah memunculkan dirimu lagi di hadapanku, Nona Bae"

Bayangan pria itu perlahan menghilang, namun suara berat serta kalimat terakhir pria itu masih jelas terdengar. Tubuhnya yang gemetar mencoba untuk melangkah, berusaha untuk tetap mengumpulkan kesadarannya.

"Mengapa tidak ada satu orang pun yang percaya kepadaku?"

GONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang