Seoul, 2010
"Ji!"
Sooji semakin mempercepat langkahnya. Panik? Tentu! Ia sengaja berangkat lebih pagi demi menghindari pria itu. Sudah satu minggu ini pria itu memaksa untuk bertemu, namun dengan lincah Sooji menghindar.
Tidak, ia bukan takut dengan pria itu. Sooji tidak ingin membuat situasi yang telah tenang menjadi runyam dan menimbulkan kesalahpahaman. Sungguh! Ia bahkan tidak tahu maksud dan tujuan atau visi dan misi pria itu berniat berbicara dengannya.
"Sooji!"
Sooji menyerah. Myungsoo lebih gesit menahan tangannya dan ia tidak mampu menghindar. Dengan terpaksa Sooji memutar tubuhnya guna melihat pria pemaksa itu.
"Ada apa?" tanyanya singkat.
"Bagaimana kabarmu?"
Sooji meringis. Acara basa - basi apa yang sedang dipermainkan oleh pria ini?
"Tentu saja baik, kau bisa melihatnya sendiri." ujarnya santai. "Ah, aku tidak punya banyak waktu. Kalau begitu, aku permisi."
Sooji segera melepaskan pergelangan tangan miliknya yang ditahan. Tubuhnya memutar dan hendak melangkah, tetapi pria itu lagi - lagi mampu menghentikan langkahnya.
"Mengapa kau menghindariku, Ji?"
Sooji tersenyum, samar. Alasan apa yang harus ia beri kepada Myungsoo?
"Aku tidak menghindarimu, Myungsoo - ssi." jawabnya seraya memutar tubuhnya kembali. "Lagipula aku dan kau bukan dalam keadaan dekat untuk saling menyapa."
Sooji tersenyum, mendapati tubuh Myungsoo yang menengang.
"Tenang saja, aku tidak berniat untuk balas dendam kepadamu. Hanya saja takdir membuatku terjebak dalam lingkungan yang sama denganmu. Begitu kejam, kan?"
**
"Kau sehat, Ji?"
Sooji tersenyum tipis, menatap sosok mungil di hadapannya. Ia tidak mungkin tega menolak setelah gadis ini memohon waktunya sejenak.
"Hm, seperti yang kau lihat, Jieun. Bagaimana denganmu?"
"Aku baik, sangat baik."
Sooji mengayunkan kepalanya, kemudian mengalihkan focus kepada segelas latte yang dipesannya. Ia tidak menyangka akan secanggung ini, meski dulu mereka cukup dekat.
"Mengapa kau menghilang, Ji? Aku mencarimu."
Sooji sudah menebak, gadis ini akan membahas soal ini. Haruskah ia menceritakan kehidupannya? Berbagi cerita sama saja dengan mempercayai gadis ini. Tetapi, bukankah hanya Jieun yang mempercayainya?
"Kau percaya denganku, Jieun?" ujar Sooji pelan.
Jieun mengangguk cepat. "Tentu, aku percaya bahwa semua itu bukan salahmu. Aku bahkan ingat bagaimana ketidaktahuan mengenai kencan mereka waktu itu. Yah, setelah kedatangan Soojung, aku rasa persahabatan kita mulai retak dan hancur."
Sooji tersenyum, tipis. Benarkah?
"Bagaimana kabar Sulli dan Jiyeon? Aku merindukan mereka."
"Mereka membencimu dan telah terhasut oleh Soojung kurasa. Entahlah, kami menjadi begitu renggang. Tetap bersama tetapi tidak pernah berbagi rasa seperti dulu, aneh kan?"
Sooji tersenyum, tidak menanggapi perkataan Jieun. Hanya Jieun yang memercayainya, bagaimana derita yang ia alami. Akankah ia mampu membersihkan namanya meski hanya satu orang yang mempercayainya?
"Aku rasa semua orang harus mengetahui kebenarannya, Ji. Kau tidak berhak menanggung rasa sakit sendirian, bukan salahmu."
Sooji mengangguk, ia tersenyum samar. "Aku harap akan ada yang mempercayaiku, Jieun."
💙💙💙
Sudah seharusnya ia bersembunyi dari kejamnya dunia. Memilih untuk mengasingkan diri tanpa menyapa cerahnya dunia. Memilih untuk pergi tanpa pernah kembali.
Sejak kejadian Myungsoo menahannya, banyak kejadian aneh yang ia alami. Entah sebuah kesengajaan atau tidak, hal - hal sial selalu menimpanya. Selalu ada air yang menyiram ketika Sooji pergi ke kamar mandi atau telur busuk yang terlempar mengenai dirinya.
Tidak hanya itu, beberapa tugas yang sudah ia kumpulkan menghilang. Beberapa dosen mengeluhkan namanya dan alhasil sang Ayah yang mendengar berita tersebut segera menghukumnnya. Tubuhnya kelelahan, batinnya telah berteriak, terlebih pekerjaan dalam dunia hiburan miliknya membuatnya hampir mati. Tercekik oleh rasa lelah.
Sooji masih sanggup menahan semuanya, tetapi tidak untuk satu hal.
Sebuah fitnah.
Saat itu ia sedang menerima hukuman karena tugas yang telah ia kumpulkan kembali menghilang. Dosen killer yang tidak akan memberi toleransi apapun terhadap muridnya. Mengecat pot bunga yang berada di atap bukanlah suat pekerjaan yang sulit, namun cukup melelahkan.
Sore itu, Myungsoo mendatanginya. Berteriak marah kepadanya. Berteriak bagaimana kelicikan dan kejahatannya karena telah menjatuhkan pot bunga dengan sengaja untuk Soojung. Tidak, tak hanya Myungsoo. Jiyeon dan Sulli dengan sukarela bersumpah serapah kepadanya.
"Percayalah, aku hanya menjalankan hukuman dari Park Saem! Aku tidak menjatuhkan pot itu!"
Myungsoo menggeram, bukti sudah ia temukan. "Terdapat kancing baju yang jatuh bersamaan dengan pot itu jatuh, bukankah ini milikmu?"
Sooji terkejut. Kancing baju itu memang miliknya, tetapi sungguh ia tidak mengerti bagaimana kancing itu bisa terlepas. Baju yang ia kenakan memang baju cadangan yang berada di lokernya. Mengecat pot membuatnya harus segera berganti pakaian.
"Bajuku kotor dan aku berganti pakaian! Aku bahkan tidak mengerti bagaimana kancing itu terlepas!"
"Alasan macam apa itu?! Jika Soojung tidak aku selamatkan, kau pikir semuanya akan baik - baik saja?! Soojung bisa mati karena ulahmu! Begini caranya kau membalas dendammu karena kesalahanku?!"
Sooji meringis. Ia tidak ingin balas dendam kepada siapa pun sungguh.
"Aku tidak pernah memiliki niat untuk balas dendam sedikit pun, Myungsoo!"
"Persetan dengan dendam! Aku peringatkan, jauhi Soojung! Lenyapkan segala rencana kotormu,brengsek!"
Sooji menangis. Setelah itu ia menerima makian kasar dari Jiyeon dan Sulli. Haruskah ia berbicara dengan Soojung? Ia yakin gadis itu yang menjadi biang keladi atas semua ini. Haruskah ia?
.
.
Hai, ini maksa ya kayaknya. Dua part lagi sepertinya akan menuju klimaks, jadi tunggu aja ya! Maaf kalau makin aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
GONE
Fanfiction"Aku seperti hujan, rela berkali-kali jatuh padamu meski kau terus berlari dan mencari tempat berteduh"-Suez