Part 12 - A Question

2.9K 450 19
                                    

Suara ketukan yang tercipta akibat gesekan antara sepatu berhak dengan lantai berkayu terdengar menggema. Soojung melangkahkan kedua kakinya dengan lincah, wajah cantik yang tertutupi oleh kaca mata hitam menambah kepercayaan diri yang ia miliki. Terdengar suara decakan kagum dari beberapa pengunjung cafe yang ia datangi, membuat senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Dia model yang tengah naik daun itu, kan?" ujar seorang wanita berambut pendek.

"Hm, Krystal alis Jung Soojung. Wah, dia sangat cantik jika dilihat secara langsung!"

Si wanita menggeleng, tidak setuju dengan pendapat teman kencannya. "Aku rasa Bae Suzy lebih cantik darinya, bahkan ia juga terlampau jenius."

Si pria tampak berpikir, kemudian memilih untuk menganggum setuju. "Kudengar dari temanku yang satu SMA dengan mereka dulu, Bae Suzy memang menjadi gadis nomor satu di sekolah mereka. Rumornya mereka itu bagaikan saingan dalam satu geng."

"Aku tidak salah, kan?" tukas si wanita. "Terlebih saat ini Suzy sudah sukses memimpin sebuah agensi dan akan menikah dengan kolega dari rekan kerja ayahnya. Wah, sebuah pernikahan yang sempurna pastinya."

"Omo, jinjja? Aku tidak sabar menanti anak sempurna yang diciptakan mereka."

Soojung mengepalkan kedua tangannya, mendengar celoteh dari sepasang kekasih yang duduk di sebrangnya. Wajahnya memerah, kentara sekali ia tengah menahan amarah yang siap meledak.

"Sialan kau, Bae Sooji!" geramnya menahan kesal.

Mengapa harus Sooji sialan itu? Sudah jelas ia tidak mungkin dapat dibandingkan dengan wanita yang sudah tidak merintis dalam dunia entertaiment. Wanita itu tidak memiliki bakat sama sekali, yang bisa ia lakukan hanya menahan harga saham agar tidak jatuh. Bukan sebuah keterampilan dalam bidang seni.

"Yya, ada apa dengan wajahmu, Jungie?"

Soojung menoleh, ia segera mengubah raut wajahnya. "Kalian sudah datang? Ayo duduk dan pesan makanan kalian."

Sulli dan Jiyeon hanya menurut mengikuti perkataan Soojung, enggan membahas raut wajah Soojung yang berbeda. Tidak mungkin mereka merusak pertemuan hanya karena ketidakpekaan mereka.

"Aku pesan pancake dan milkshake oreo." tukas Sulli.

"Aku samakan saja denganmu, Jiyi" ujar Jiyeon yang diangguki Soojung sebelum memanggil sang pelayan.

**

Semilir angin malam menerpa helaian surai hitam milik Sooji. Surai indah miliknya berterbangan kesana kemari hingga Sooji memutuskan untuk mengikatnya asal. Langkah kakinya tidak berhenti, melangkah dengan tempo lambat. Manik kecoklatannya bermanja dengam pemandangan sungai Han di malam hari. Sungguh indah.

Sungai Han merupakan tempat kesukaannya untuk menghilangkan penat. Sejak dulu alam yang mampu menenangkan hati dan pikiran Sooji di kala ia gelisah. Sungai Han bagaikan saksi bisu yang mendengar tangisan pilu miliknya.

Sooji bukanlah wanita nekat yang membuat kegaduhan dengan menangis di pinggiran sungai, ia akan datang ketika tengah malam sudah tiba. Lagipula hanya tengah malam waktu yang bisa ia gunakan untuk meninggalkan rutinitas pekerjaannya. Sooji sangat sibuk dengan segala pekerjaannya.

"Kau di sini?"

Sooji yakin pendengarannya tidak bermasalah. Mengapa suara berat itu terdengar nyata, seakan - akan pria itu berada di belakang tubuhnya?

"Tidak baik seorang wanita berkeliaran di tengah malam seperti ini."

Sooji terkesiap, suara itu bukan khayalan semata yang ia ciptakan? Dengan segera Sooji memutar tubuhnya, ia hampir kehilangan kesadarannya melihat tubub tegap milik Myungsoo berdiri di hadapannya. Sooji tidak bermimpi, kan?

"Hei!"

Sooji mengerjap, jemari kekar milik Myungsoo menari di depan wajahnya.

"Ya?" gumam Sooji, ia masih terkejut. "Kenapa kau bisa ada sini?" tukasnya.

"Wae? Ini tempat umum, aku bebas ke sini kapanpun. Jangan ge'er, aku tidak sengaja melihatmu maka aku menghampirimu."

Sooji mengangguk kecil, enggan untuk mengeluarkan suaranya lagi. Selain masih terkejut, Sooji merasa canggung berbicara sedekat ini dengan pembahasan tidak penting. Sooji memilih untuk mendudukan dirinya di sebuah kursi yang berada tak jauh dari tempatnya berpijak.

Sooji menatap Myungsoo dengan heran. Mengapa pria ini mengikutinya?

"Ini bukan kursi milikmu, siapa saja bebas untuk duduk di sini." tukas Myungsoo, seakan mengerti pikiran Sooji.

Sooji hanya mengangguk, kemudian ia memejamkan kedua matanya. Menikmati semilir angin malam yang menenangkan hatinya. Ia akan segera mati jika harus mengkonsumsi obat penenang tanpa ada solusi lain untuk mengatasi penyakitnya itu.

"Kau tidak berubah, alam adalah kesukaanmu."

Sooji membuka kedua matanya, ia menolehkan kepalanya. Senyum tipis terlampir di wajahnya. Tuhan, bisakah ia memeluk tubuh pria ini sejenak? Ia sangat merindukannya.

"Ji."

Sooji lantas membatalkan niatannya untuk memejamkan kedua matanya, ia menatap pria di sampingnya. Kapan terakhir kali ia mendengar pria ini memanggil dengan sebutan itu? Sial. Mengapa hatinya bergetar tanpa arah?

"Aku memiliki pertanyaan untukmu, Ji."

Myungsoo kini menatap serius Sooji. Ia bisa melihat bagaimana manik kecoklatan itu dilapisi kaca yang hendak memecah. Manik yang selalu membentuk bulan sabit ketika tawa menghiasi hari sunyinya. Manik yang selau Myungsoo sukai.

"Apa?" lirih Sooji.

"Mengapa kau pergi begitu saja? Aku menunggu penjelasanmu saat itu."
.
.
hehe, maaf kaau pendek dan gantung. Dont forget to vote and comment. Thanks!

GONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang