Hai, jangan lupa vote dan commentnya ya. Maaf kalau ceritanya makin absurd hehehe. Selamat membaca.
.
.
.Kilatan amarah itu tampak jelas di kedua bola mata hitam milik Myungsoo. Amarahnya sudah memuncak, ia tak mampu untuk mengendalikan dirinya yang siap meledak. Terlebih ketika ia melihat wajah tak bersalah milik sang Ayah, pria paruh baya itu hanya duduk terdiam sembari menyesap anggur merahnya.
"Apa maksudmu, Ahbojie?" tanya Myungsoo dingin.
Tuan Kim melirik putranya sejenak, sebelum kembali meneguk anggur merah itu. "Apalagi? Tentu saja aku akan menikahkanmu dengan putri Tuan Bae, Bae Sooji"
Myungsoo menggeram. Ayahnya sangat lihai memerintahkan ini dan itu kepadanya, tanpa pernah memikirkan kondisinya. Sungguh seorang ayah yang egois.
"Aku tidak mencintainya!" desis Myungsoo tajam, tangannya sudah terkepal sebagai pertanda emosinya yang sudah memuncak.
"Cinta timbul karena terbiasa, kalian akan saling mencintai kelak. Kau dan Sooji teman lama, apa masalahnya?"
Myungsoo menggeram. Ayahnya sungguh bertingkah di luar nalarny kali ini. "Aku akan menikah dengan wanita pilihanku!"
Tuan Kim tertawa. Putranya ini sudah dibutakan dengan cinta, tidak berguna.
"Ah, dengan wanita licik itu? Seorang putri yang dilahirkan dari rahim wanita licik? Sadarlah, nak. Mereka tidak sebaik apa yang kau lihat."
"KAU TIDAK BERHAK MENILAI WANITAKU, TUAN! AKU MENOLAK KERAS PERJODOHAN INI!"
Myungsoo berteriak. Ia segera melangkah pergi sebelum ia melakukan hal yang tidak seharusnya. Ia tidak ingin melukai sang Ayah.
"Jangan menyesal, nak"
**
Ringisan kecil menyapa indra pendengadan milik Jieun. Dengan terburu-buru ia menghampiri Sooji yang baru saja terbangun setelah kehilangan kesadarannya. Kedua tangannya dengan cekatan membantu Sooji untuk meneguk air mineralnya.
"Sudah baikan?" tanya Jieun lembut.
Sooji mengangguk kecil. "Syukurlah, aku sangat mengkhwatirkanmu, Ji" tambah Jieun yang hanya dibalas oleh anggukan kepala dari Sooji.
Jieun mendesah. Sooji jelas berbohonh kepadanya, wanita bodoh itu tidak baik- baik saja.
"Kita dimana?"
Jieun tersentak akibat Sooji yang tiba-tiba mengeluarkan suaranya lagi. Ah, ia baru ingat jika dirinya belum menjelaskan keberadaan mereka kepada Sooji.
"Di kamar hotel, kenapa? Tadi kau tiba-tiba pingsan, jadi kami segera membawamu ke sini."
Sooji mengeryit. Kami? Siapa lagi yang menolongnya selain Jieun?
"Kami?" ulang Sooji.
"Tadi Myungsoo yang membawamu kemari, aku mana kuat mengangkatmu, Ji."
Kedua bola mata Sooji sontak melebar. Myungsoo? Pria itu yang membawanya kemari? Bukankah pria itu membencinya?
"Jangan berprasangka buruk, Myungsoo tidak seburuk yang ada di pikiranmu" ujar Jieun cepat, mengerti apa yang ada dipikiran Sooji.
Sooji hanya mendesah. Tidak berniat menjawab pernyataan Jieun yang sama sekali bukan keinginannya.
"Bisakah kau keluar sebentar, Jieun-ah?"
Baik Sooji ataupun Jieun tersentak, terkejut dengan kehadiran pria bermarga Kim itu. Tubuh Sooji sontak menegang, ia kembali dikejutkan dengan sosok pria itu lagi.
Jieun melirik sejenak Sooji yang masih terkejut. Apa yang harus ia lakukan? Membiarkan Myungsoo berbicara dengan Sooji atau melarangnya?
"Baiklah, tapi jangan menyakitinya"
"Ji..."
"Aku berjanji."
Sooji menghentikan ucapannya, pria itu begitu cepat berbicara membuat Jieun dengan langkah berat meninggalkannya. Sooji hanya mampu menundukkan kepalanya, ia tak berani menatap manik hitam yang mentapnya tajam.
"Kau kembali?"
Sooji rasanya ingin berteriak karena terkejut ketika pria ini bersuara tepat dihadapannya. Bagaimana bisa pria ini begitu santai duduk di hadapannya?
"Wae?"
Sooji menyahut dingin. Ia tak boleh terlihat lemah di hadapan pria ini. Cukup sudah ia mempermalukan dirinya dengan tidak sadarkan diri di hadapan pria itu dan kekasihnya.
"Kau lucu sekali, nona. Setelah pergi begitu saja, kau kembali dengan keadaan baik - baik saja?"
Sooji menggeram. Emosinya mulai terpancing dengan kalimat pedas itu. Apa yang diharapkan Myungsoo tentang dirinya?
"Kau berharap aku mati?"
Entah keberanian dari mana, Sooji menatap dalam manik hitam yang masih setia menatapnya tajam. Ia bisa melihat raut terkejut dari pria itu. Mengapa begitu terkejut jika ia hanya menggantikan peran pria itu mengungkapkan keinginannya?
"Sudahlah. Aku hanya ingin bicara, batalkan perjodohan ini. Aku menolak keras perjodohan ini."
Diam Sooji membuat Myungsoo mengeryit. Pikiran Sooji kembali memutar, di mana Tuan Kim mengumumkan rencana pernikahan merek. Mengapa ia baru mengingatnya sekarang? Ia sudah tahu jelas bahwa pria ini menolak keras perjodohan mereka, tetapi bagaimana bisa ia menentang perintah sang Ayah? Terlebih ayahnya pasti memiliki alasan yang kuat hingga ingin menikahkan dirinya dengan Myungsoo.
"Aku tidak bisa."
Myungsoo menggeram. Wanita ini ingin berniat membuat hubungannya rusak lagi? Benar-benar licik.
"Kau ingin merusak hubunganku lagi, huh?"
Sooji mengeryit, tidak suka dengan asumsi dan tuduhan pria itu. "Apa maksudmu? Kau tidak bisa menuduhku seenaknya, Tuan!"
Myungsoo mendesis. "Kau tidak berubah, tetap licik seperti dulu! Belum puas setelah menghancurkan hidupku dan Soojung,huh? Apa lagi rencana busukmu itu?!"
Tubuh Sooji bergetar. Kepalanya pening seketika, suara itu kembali menggema di kepalanya. Ia meringis merasakan rasa sakit kembali menyerang kepalanya.
"Arghhh"
Sooji berteriak, kedua tangannya sibuk menarik kasar rambutnya. Kepalanya sangat sakit, rasanya seperti akan meledak. Myungsoo panik bukan main, ia segera menahan tangan Sooji.
"Yya, neo wae geurae? (Hei, kau kenapa?"
"A..appo.."
Sooji menangis. Kepalanya sangat sakit. Suara itu tidak mau hilang berputar di kepalanya. Tangannya semakin menarik rambutnya keras.
"Yya! Bae Sooji, hentikan!"
"Sooji!"
Myungsoo sontak menoleh, sedikit bernapas lega melihat Jieun datang bersama seorang dokter.
"Apa yang kau lakukan, huh?"
Myungsoo meringis mendengar nada sinis yang dikeluarkan oleh Jieun. Wanita semungil Jieun bersikap begitu sinis, bagaimana bisa?
"Ak..aku hanya berbicara dengannya, lalu..."
"Cukup! Kau keterlaluan, oppa!"
Myungsoo terdiam. Benarkah ia sudah keterlaluan? Kedua bola matanya mengikuti gerakan Jieun yang berdiri di samping Sooji dengan wajah khwatir, sementara sang dokter menyuntikan obat penenang kepada Sooji.
Myungsoo meringis. Bagaimana bisa Jieun lebih memilih Sooji yang hanya teman semasa SMA dibanding dirinya yang sepupu pria itu sendiri. Bagaimana bisa Jieun begitu menyayangi Sooji dengan segala kebusukan yang dimiliki oleh wanita itu.
Sebenarnya siapa yang buta di sini? Dirinya atau Jieun?
KAMU SEDANG MEMBACA
GONE
Fanfiction"Aku seperti hujan, rela berkali-kali jatuh padamu meski kau terus berlari dan mencari tempat berteduh"-Suez