2.Coffee

6.5K 482 397
                                    

Arga dan Vania telah menaiki mobil sport milik Arga. Mobil ini adalah hadiah ulang tahun dari Ibundanya. 'Utaw' adalah panggilan kesayangan untuk mobil berwarna merah ini. Ia merawat utaw dengan penuh kasih sayang. Mandinya saja sampai 3 kali sehari, bahkan makannya pun juga 3 kali sehari dan jangan lupa sikat giginya yang 2 kali sehari.

"Masih sakit, Van?" tanya Arga mengawali percapakan.

"Udah mendingan kok," jawab Vania.

"Syukur deh." Arga diam sebentar. "Habis ini belok mana?" tanya Arga lagi.

"Nggak belok, lurus aja. Dikit lagi nyampe."

"Oke. Untung lo nggak amnesia. Kalo sampe amnesia, gue anter lo kemana? Masa iya gue bawa pulang."

"Ingatan gue di otak, bukan di lutut, Ga. Masa iya lutut yang jatuh, otak yang nggak beres sih?"

"Yaa bisa aja, nggak ada yang mustahil bagi Tuhan, kan?" Arga terkekeh pelan.

Vania memutar bola matanya. "Iya iyaa daah, Arga selalu bener. Eh, rumah gue di situ, Ga." Vania menunjuk sebuah rumah sederhana dengan halaman rumah yang seadanya. Namun, kelihatan begitu nyaman berkat suburnya tanaman-tanaman yang dirawat Mamanya dari pertama mereka mendiami rumah baru itu sampai sekarang.

Arga berhenti tepat di depan rumah Vania. "Akhirnya nyampe juga."

"Maaf ya, gue jadi ngerepotin lo."

"Nggak papa, Van, lagian rumah kita sejalan kok."

Vania tersenyum manis. "Makasih, Ga. Lo nolongin gue dua kali hari ini."

"Yaa mungkin gue emang ditakdirkan untuk menjadi penyelamat hari ini." Arga tertawa pelan.

"Iyaa, penyelamat tuan putri," sahut Vania asal.

Arga mengulum senyum. "Mana ada tuan putri yang mukanya mirip titisan drakula gini. Hahahaa."

"Pampir lo!" Vania membuka pintu mobil Arga, kakinya turun selangkah. "Eh, mau mampir dulu?" Kini kedua kakinya sudah menginjak tanah.

"Nggak deh, lain kali aja ya? Soalnya ini udah sore banget."

"Iya sih, kalau gitu hati-hati ya?"

"Oke. Besok gue jemput ya, bangun jangan kesiangan. See you." Arga menyalakan mesin mobilnya.

"Too," balas Vania singkat.

Arga menjalankan mobil dan perlahan menghilang dari penglihatan Vania. Kemudian Vania pun segera masuk ke rumah dengan kaki kiri yang masih sakit.

"Pulang sama siapa, Kak?" tanya mama Vania, ketika Vania sudah di depan pintu dan mencium punggung tangan Mamanya.

"Temen, Maa."

"Bener nih temen?" Mama Vania memasang muka curiga.

"Iya, Mamaa," jawab Vania sambil berjalan menuju kamarnya.

"Mama nggak mau kamu pacaran sekarang ya, Kak. Perjalanan kamu masih panjang, kalo kamu pacaran se-"

"Iya, Mamaaa. Vania inget kok. Vania masuk ke kamar dulu yaa, kaki Vania lagi sakit ini."

Mama Vania mengela napas pelan. "Duduk sini dulu," suruh Mamanya sambil menepuk sofa di sampingnya.

Vania perlahan menghampiri Mamanya dan duduk dengan bahu yang tersandar di sofa.

Wanita yang berumur sekitar 35 tahun itu mengangkat pelan kaki anak kesayangannya. "Dimana sakitnya?"

"Disini, Ma." Vania menunjuk dada kemudian terkekeh pelan. "Eh enggak. Disini, Maa." Ia menunjuk lutut kirinya yang memar. "Tadi Vania kesandung batu, kaki Vania sakit dan gak bisa ngayuh sepeda, jadinya sepeda Vania tinggal di sekolah terus pulangnya dianter temen," Vania menjelaskan dengan jujur pada Mamanya.

All PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang