Ternyata kalau kita berharap banyak, harus siap kecewa lebih banyak.
****Meski senyum merekah, terlihat anggun tiada tara, tapi sayang itu hanya dusta belaka, sebuah tipuan, sebuah pelarian, hanya sekedar untuk menutupi kerapuhan hati.
Andai aku bisa ungkap semua rasa, pedih, luka, dan kecewa, di hadapanmu sekarang juga, mungkin akan sedikit membuatku lega.
Kalimat demi kalimat terukir di sebuah buku yang jarang Vania sentuh, buku yang Vania khususkan untuk mencurahkan isi hatinya. Begitu lancar tangannya nengukir kata, tanpa ada orang lain yang tahu kalau hatinya terluka.
Kejadian tiga hari yang lalu masih terekam jelas di pikiran Vania, kejadian yang berhasil menggores luka di hatinya.
Sudah tiga hari kejadian itu berlalu, sudah tiga hari pula Vania lebih suka menyendiri, tidak tertawa lepas seperti biasanya, terlihat jelas perbedaannya. Mata Vania yang juga sering sembab seringkali membuat mama Vania khawatir. Sudah tiga hari Vania tidak banyak bicara, ia tidak menceritakan apapun kepada orang-orang di sekitarnya, tidak terkecuali Mamanya.
Sepulang sekolah, Vania selalu datang ke cafe ini, cafe yang menjadi favoritnya bersama Arga, tepatnya di lantai 2 cafe. Ia juga selalu memilih tempat duduk tepat di tempat duduk langganan Arga, dekat jendela yang langsung menyajikan pemandangan jalan bersama dengan secangkir coffe cappuccino.
Di samping gelas keramik berwarna merah, Vania meletakkan ponselnya yang menampilkan sebuah notifikasi.
99 panggilan tak terjawab dan satu pesan,
Argaprstya
Gue salah, Van. Gue minta maaf.
***
"Pulang ke rumah!" suruh seseorang kepada laki-laki yang sedang menerima panggilannya.
"Buat apa?" sahut laki-laki itu.
"Rumah kamu bukan di sana. Ayo, pulang!"
"Buat apa saya pulang ke rumah, kalau saya lebih betah jauh dari rumah saya sendiri? Jauh dari rumah, jauh dari masalah."
"Arga!"
Laki-laki itu, Arga, memutar bola matanya kesal, mulutnya tak bersuara.
"Kamu ngerepotin aja di sana."
"Saya yang lebih ngerepotin kalian berdua kalau saya ada di sana. Ntar ada yang mati di tempat pas kalian lagi-"
"Arga! Ini Mama, bukan musuh kamu! Sebelum kamu mengira seperti itu, pernah kamu bertanya alasan Mama?! Pernah kamu memikirkan nasib mama di sini?"
Arga terdiam, ia menghembuskan napas berat.
"Kamu udah lupa sama mama yang susah payah membesarkan kamu meski kamu hidup tanpa kehadiran seorang ayah? Mama yang menanggung derita dari setiap masalah, sendirian. Gak pernah mama libatin kamu sama masalah mama!" suara mama Arga terdengar serak.
Arga tercekat, kalimat itu berhasil membuat Arga teringat dengan masa lalu, lagi-lagi masa lalu.
"Apa segitu kecil kasih sayang kamu sama mama, sampai kamu tega ninggalin mama di sini sendirian? Apa kamu pikir kamu gak pernah buat mama kecewa karena ulah kamu? Mama juga bisa kecewa, Arga, tapi apa pernah mama ngungkapin itu? Pernah mama ninggalin kamu?"
Arga memejamkan matanya, ia sadar, ia salah, sangat salah.
Suara isak tangis mama Arga terdengar di telinga Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Promise
Teen FictionPRIVATE ACAK, FOLLOW SEBELUM MEMBACA. R13+ Aku dengan masa laluku, kamu dengan masa lalumu. Kita adalah insan yang dipertemukan dalam satu kisah. Saling mengucapkan janji. Tapi apakah di esok hari dan seterusnya kita sanggup menepatinya? atau bahkan...