Vania berjalatn ramah dengan senyum tipis di wajahnya. Ada kebahagiaan di sana. Tentu saja karena ia tidak terlambat hari ini, walaupun gerbang nyaris ditutup. Sangat patut disyukuri karena Vania sampai di depan sekolah tepat ketika satpam sekolah baru saja menutup setengah pagar. Jadi untuk hari ini tidak ada yang namanya hukuman.
Selain itu, Vania juga merasa senang karena pagi tadi ia bertemu Arga. Walau ia sangat ingat bahwa itu adalah salam perpisahan tapi rasanya tidak lagi menyakitkan.
Vania sadar, tidak boleh kita mengekang mimpi seseorang, harusnya mendukung dan mendo'akan. Mungkin berat jika terlalu dipikirkan, tapi Vania rasa tidak kalau dia bisa menjalaninya dengan positif.
Kalau suatu saat ia rindu, maka biarlah itu terjalin, dan ia hubungkan dengan do'a kepada sang pencipta. Vania tidak ingin hari ke depannya lunglai hanya karena menyesali atau membenci mimpi Arga. Ia juga percaya, bahwa segala sesuatu yang telah Tuhan pastikan, tentu itu adalah yang terbaik untuk hamba-Nya, asalkan kita bersyukur, tidak patut kita membencinya.
Senyum Vania melebar ketika melihat Jev berdiri di depan kantin dengan ponsel di tangannya, terlintas sebuah rencana yang harus Vania jalankan.
Setelah dua langkah dekat Jev, Vania menyapa. "Hai."
Jev mendongak. "Van."
"Kamu Milea ya?"
Dahi Jev mengernyit bingung. "Kamu gila ya?"
"Aku ramal, nanti ketemu di akhirat, jadi banyak-banyak nyari pahala," kata Vania kemudian terkekeh.Jev ikut terkekeh. "Siap bos! Lo bagus banget ngomong gitu, mirip Arga yang sekarang."
"Oh ya?" Mata Vania melebar, kaget yang hiperbolis.
"Iya. Tu anak 'kan kemarin kemarin sempat ngajak gue ke majelis bareng."
Vania tersenyum, deretan gigi putihnya terpamerkan. "Serius?"
"Iya. Habis keluar dari rumah sakit dia jadi tobat. Syukurlah, gue jadi ikut-ikutan."
Vania terkikik pelan. "Jangan cuma ikut-ikutan, tapi lanjutkan. Niatnya juga yang bener."
"Hijrah gitu ya? Jadi mau.
***
Suasana kelas sedang tidak kondusif, suara riuh mengisi ruangan ini sepenuhnya. Anggap saja kebiasaan ketika seorang murid menyalin pr milik temannya yang sukarela mau berbagi jawaban. Sebagian dari mereka jadi sibuk sendiri. Apalagi Rina.
"Astaga Budi! Pensil alis gue masa lo tulisin ke buku?!"
"Pensil gue hilang!" balas Budi, tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari buku Rino, teman sebangkunya yang rela berbagi jawaban pr matematika dari Bu Jelita. Bagus ya namanya, Jelita. Sayang, setiap nama belum tentu menggambarkan sifat. Tapi Bu Jelita ini baik kok, baik kalau sama murid yang pandai matematika, sementara dengan murid lainnya? Sudahlah, kalian tebak saja sendiri. Karena kalau dikasih tau bagaimana sifat Bu Jelita, namanya ghibah. Haram pemirsa.
Rina mendengus, lalu mendekat pada Budi. "Pulpen kan ada?"
"Astaga Rina mana ada sih sejarahnya seorang Budi beli pulpen? Waktu SD aja, emak gue yang beliin."
Lagi-lagi Rina mendengus. Detik berikutnya, Rina menarik paksa pensil alisnya dari tangan Budi dan meletakkan pulpen di atas meja Budi dengan kasar.
"Dasar payah!"
Budi terkekeh. "Makasih ya, kamu baik deh."
Rina tidak menghiraukan, ia berjalan menuju Alana yang duduk santai di atas kursi, tidak seperti yang lainnya.
"Lan, pulpen lo dipinjam Budi," kata Rina pada Alana dan langsung duduk di kursinya tanpa merasa bersalah. Iya, jadi pulpen yang Rina pinjamkan kepada Budi itu adalah pulpen pinjaman juga, milik Alana.
"Alamat, gak bakal balik lagi pulpen gue kalau sudah di tangan dia."
"Ikhlasin aja, pulpen lo 'kan dua," sahut Anya yang duduk di samping Alana. Perempuan itu juga sedang sibuk menyalin tugas milik Alana.
"Sekarang 'kan sisa satu, Nya."
"Udah, pahala di atas segalanya."
Alana menghela napas pelan.
Setelah diam beberapa detik Alana membuka suara. "Makasih ya, Nya."
"Buat?" tanya Anya tetap fokus dengan tugasnya.
"Bantuan lo. Gue jadi bisa nyari duit yang bener-bener halal sekarang."
Jadi, Alana sekarang kerja di sebuah kafe milik temannya mama Anya. Dengan tulus, Anya membantu Alana dengan meminta Mamanya untuk bicara pada teman Mamanya itu, bahwa Alana ini sangat butuh pekerjaan. Syukurnya, teman Mamanya itu memang sedang memerlukan karyawan. Syukurnya lagi, posisi Alana yang menjadi bagian penjaga kasir itu berlaku dari jam 4 sore sampai jam 9 malam, jadi tidak bentrok dengan jadwal sekolah. Walaupun gajihnya itu juga tetap harus membuatnya meminimalkan pembelajaan rumah karena harus dibagi dengan biaya sekolah, Alana tetap bersyukur, Mama Alana juga sangat senang dan mendukung Alana, meski di hati Mamanya itu ada rasa tidak nyaman karena keadaannya yang seperti ini, membuat Alana harus susah payah mencari uang.
"Oh, iya sama-sama. Gak ada masalah 'kan di pekerjaan lo?"
Alana menggeleng mantap.
"Alhamdulillah. Hari ini gue ikut ke kafe ya, kali aja ketemu cogan."
"Ada-ada aja lo."
Anya tertawa pelan.
Alana diam, sampai Anya kembali bertanya. "Oh ya, lo sama Rio nggak ada hubungan apa-apa lagi 'kan? Maksud gue, dia gak nyuruh lo sekongkol lagi?"
Terdengar sangat to the point memang, tapi hal itu tetap dijawab Alana setelah ia menghembuskan napas pelan. "Enggak. Gue gak peduli mau dia marah atau apa sama gue. Lagian gue sekarang sadar, tanpa uang dia juga gue bisa hidup."
***
A/n : Maaf ya pendek wkk. Sudah siap dengan part selanjutnya? Kira-kira part 45 sudah ending. Bentar lagi, sabar yaaaaaaaaaaaaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Promise
Novela JuvenilPRIVATE ACAK, FOLLOW SEBELUM MEMBACA. R13+ Aku dengan masa laluku, kamu dengan masa lalumu. Kita adalah insan yang dipertemukan dalam satu kisah. Saling mengucapkan janji. Tapi apakah di esok hari dan seterusnya kita sanggup menepatinya? atau bahkan...