29.Kau sebut perpisahan

2.3K 96 12
                                    

Dear God the only thing I ask of you is,
to hold her when I'm not around,
when I'm much too far away

-Avenged Sevenfold - Dear God
***

"Lo reject panggilan gue berulang kali, Van, lo gak pernah baca chat gue, baca aja, gak perlu balas."

Vania bungkam, matanya masih betah menatap ke arah luar kaca mobil. Berada di dalam mobil ini pun, sebenarnya jika tidak dipaksa, Vania tidak akan mau.

"Tanpa lo sadar, itu malah nyakitin diri lo sendiri. Gue cuma mau ngasih tau alasan Arga yang gak pernah mau dia ungkapin ke elo."

Bagai ditikam palu, Vania lebih memilih untuk memejamkan matanya daripada menunjukkan kelemahan Vania di hadapan laki-laki ini, Jevilo.

"Van, gue gak pengen kalian itu terus-terusan begini, lo-"

"Please, Jev!" potong Vania terdengar memohon. "Apapun yang ingin lo jelasin, simpan aja."

"Gue cuma-"

"Arga," potong Vania lagi, hanya dengan satu kata yang membuat Jev mengernyitkan dahi. "Alasan gue buat gak mau ngangkat panggilan dan baca chat lo itu karena gue cuma pengen denger semuanya dari Arga."

***

Malam itu, Arga duduk di kasur king size-nya, menatap dua koper besar yang ada di hadapannya. Perasaan berat lagi-lagi menguasai hatinya, berat meninggalkan semua yang terlanjur hadir di dalam hidupnya. Dan untuk ke sekian kalinya Arga menghela napas, kembali meyakinkan diri kalau ini memang yang terbaik. Ia tidak ingin kembali goyah dengan apa yang sudah menjadikan keputusannya.

Bukan keputusan yang terlalu cepat bagi Arga, ia sudah menimbang-nimbang segalanya, bahkan apapun konsekuensi ia akan terima, hanya saja ada satu nama yang menghantui pikirannya itu, seringkali membuat Arga hampir goyah dengan keputusannya. Namanya adalah, Vania.

"Arga."

Merasa dipanggil, Arga menoleh ke arah pintu kamar. Mama Arga tersenyum dan masuk menghampiri Arga. "Udah siap?"

Diam sejenak, Arga kemudian tersenyum, bukan senyum bahagia tentunya, seorang Ibu pasti tahu arti senyum Arga itu.

Mama Arga duduk di samping Arga. "Mama sering ngerasa kalau kamu ragu sama keputusan kamu. Omah, sama mama gak pernah maksa kamu buat pergi dari sini Arga. Kalau kamu gak yakin, lebih baik tetap di sini, Ga."

Arga menatap Mamanya, kembali tersenyum dengan helaan napas pelan. "Kita pergi besok, Ma," tandas Arga sekaligus berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

***

Sore itu, matahari cukup membuat Vania semakin gerah. Dengan langkah pelan, Vania berjalan menuju halte yang tak jauh dari sekolah. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 04.35. Memang lebih sore dari hari biasanya, karena Vania baru saja selesai dari ekskul karate.

Sesampainya di halte, Vania duduk dan menunggu angkutan umum di sana. Ketika menyapu keringat di dahi, Vania mendengar suara riuh dari arah kanannya, membuatnya langsung menoleh, dan mendapati segerombolan laki-laki yang memakai seragam yang tidak Vania kenali, tentunya bukan berasal dari sekolahnya. Masing-masing membawa kayu juga rantai. Mereka semua memasang wajah garang.

Selang beberapa detik, Vania mendapati segerombolan laki-laki dari arah berlawanan. Dilihat dari segi pakaian, Vania yakin semua laki-laki itu berasal dari sekolahnya. Di tangan mereka semua juga menggenggam kayu besar, ada juga yang menggenggam ikat pinggang sebagai senjata.

All PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang