34. Jangan pergi

2.3K 109 14
                                    

Andai bisa, aku ingin meneliti setiap jengkal kenangan kita kemudian menghapus jejak yang menunjukkan rasa sakit. Aku ingin kenangan kita hanya berisi tawa, bukan bercampur luka.
****

Malam yang terasa kelam, ditemani keheningan. Bungkam menghampiri kala fakta menyatakan bahwa sosok yang ada di hadapan masih terbaring lemah. Tidak ada sedikit saja gerakan dari tubuhnya.

"Kamu gak capek, nak?" Mama Arga, Dania mengusap tangan anaknya pelan, matanya menatap Arga nelangsa.

Tidak ada jawaban dalam pertanyaan itu, hanya suara bedside monitor yang menjadi bukti bahwa Arga masih bertahan di dalam alamnya.

"Kapan kamu seperti dulu, jagain Mama?" Ada sesak yang Dania rasa, sudah hari ketiga Arga belum juga menyapa. "Kamu harus tau, mama rindu sama kamu, mama pengen kamu bangun, kembali menampakkan tawa." Mata Dania memanas, seperti ada yang mendesaknya, air mata yang sebenarnya ia tahan.

"Harus berapa lama lagi, Gaa." Kali ini beriringan dengan isak yang tak tertahan, air mata yang tak terbendung. Ibu mana yang tidak pilu melihat anaknya dalam keadaan seperti ini? Sungguh, untuk kesekian kalinya tangis Dania luruh di sini.

Tangan Dania menggenggam tangan Arga erat. Matanya terpejam bersamaan dengan bibirnya yang bergetar. Membayangkan hari-hari sebelum ini yang ia lewati dengan anaknya itu rasanya semakin membuat tangisnya menjadi-jadi. Arga terlalu banyak menoreh kenangan.

Cukup lama dalam keadaan begitu, akhirnya Dania mengusap wajahnya yang basah kemudian berusaha menenangkan diri.

Beberapa saat kemudian, suara bedside monitor terdengar berbeda, semakin nyaring di setiap detiknya. Dania merasa dentuman keras seolah menghantamnya, napasnya hangus ketika melihat garis di monitor itu tidak teratur, lalu menatap Arga yang dadanya turun naik. Detik itu juga jantung Dania kehilangan rimanya. Ia kalap.

"DOKTER, SUSTER!" Teriak Dania sambil mengguncang tubuh Arga, berharap dengan begitu Arga membuka matanya. "CEPAT TOLONG!"

Air mata kembali luruh membasahi pipi Dania, ia terus menatap anaknya yang tak kunjung sadar, sampai akhirnya seseorang menarik tangannya dan membawanya keluar.

"Kami akan tangani," kata suster itu.

Dania tidak menolak, dengan cepat ia menatap Arga lewat jendela kaca yang menjadi sekat antara dirinya dan Arga. Detak jantungnya masih tidak teratur, rasa khawatir dan takut seakan menghunusnya.

Tak sanggup lagi, Dania roboh tak mampu lagi bertumpu pada kedua kaki, ia terduduk lemas di lantai yang tadi menjadi pijakannya, ditemani tangis yang luruh tak terbendung.

"Jangan ambil Arga, Tuhaan ..." pintanya dengan mata terpejam di sela isakannya.

***

"Maa, ayo makan, Alana masak gudeg kesukaan mama."

Wanita yang kini duduk di kursi roda itu tersenyum tulus. "Waah kamu kok tau kalau mama lagi kangen gudeg?"

Alana terkekeh pelan. "Feeling aku hebat dong."

Mama Alana masih tersenyum, lalu mengangkat tangannya ke udara, meraba-raba hingga mendapat puncak kepala Alana. Penglihatannya yang tidak senormal orang lain memang selalu membuatnya lamban dalam melakukan sesuatu. "Makasih ya, sayang."

"Iya, mama sayang. Sekarang, Alana suapin ya."

Mama Alana mengangguk. Mulutnya kemudian terbuka menunggu suapan Alana.

Dengan penuh kasih sayang, Alana menyuapi, senyumnya terukir tipis saat itu. Suapan demi suapan terus berlanjut hingga tersisa separuh.

"Lan, kabar Rio gimana?"

All PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang