1.Panggil saja sayang

15.2K 603 905
                                    

                   

     Pagi yang cerah menambah semangat Vania untuk berangkat sekolah meskipun harus berstatus sebagai murid pindahan. Kini ia sudah siap dengan seragam putih abu-abunya yang rapi, bersama dengan ransel yang bertengger manis di bahunya.

"Vaniaaaaa!" Teriakan wanita yang sangat disayangi Vania itu begitu menggelegar bagaikan petir yang menyambar, merusak suasana tentram di pagi hari yang cerah ini.

"Ya Tuhaan, kayanya Mama keselek toa deh, teriakannya maut banget," gumam Vania disusul dengan kekehannya. "Iyaa, Ma?" sahut Vania setengah teriak.

Mamanya berjalan menghampiri Vania yang tengah memasang converse kesayangannya. "Eh, Mama pikir kamu belum bangun, Van. Ternyata udah cantik aja nih anak mama."

Vania menyahut dengan penuh percaya diri, "Aku kan emang cantik setiap saat, Maa." Vania benar, dia memang cantik. Meski badannya tidak setinggi model, tapi ia memiliki wajah yang menjadi idaman kaum adam. Rambutnya yang diikat pony tail menambah kesan natural pada dirinya. Ia tidak berminat untuk menghias wajahnya dengan make up. Menurutnya, kecantikan itu harus murni, dan bersumber dari hati. Percuma, kan kalau wajah Cinderella tapi hati serigala?

"Ah, siapa dulu dong Mamanyaa?"

"Emang siapa, Ma?" tanya Vania innocent.

Mama Vania menatap Vania jengah. "Sarapan bareng Dika dulu gih sana." Dika adalah adik tunggalnya yang kini sudah menjadi murid di sekolah menengah pertama sebagai murid pindahan, sama seperti Vania.

"Nggak deh, Ma. Vania takut telat, masa iya di hari pertama Vania sekolah udah telat sih? Kan nggak ucul."

"Yakin kuat nih?"

"Iyaa, Maa. Vania cuma gak sarapan sehari bukan gak makan berhari-hari," jawab Vania dengan penuh keyakinan.

"Mmm... Yaudah, di sekolah jangan bandel ya? Kalo kamu ketahuan bandel, kaki kamu mama sita!" ancam Mamanya sambil tertawa lebar.

"Lah, terus gimana caranya Vania jalan?"

"Tengkurap," canda Mamanya.

Vania mendengus pelan. "Subuh baru sampe."

"Yaa derita kamu," sahut Mamanya sambil tertawa.

"Mamaa! Udah, Vania berangkat dulu, Assalamualaikum," pamitnya kemudian mencium punggung tangan Mamanya, lalu perempuan itu melangkahkan kakinya untuk keluar rumah.

"Waalaikumsalam. Hati-hati yaa!"

"Iya, Maaa."

***

Jam tujuh lewat, upacara bendera dimulai. Tentu saja tidak semua murid melaksanakannya dengan baik. Ada saja yang masih mengutak-atik ponsel, menggosip, ketawa-ketiwi dan hal-hal yang tidak perlu lainnya. Namun, Vania termasuk murid yang mengikuti upacara dengan baik, selain karena statusnya sebagai murid pindahan, ia juga bukan termasuk murid yang demikian.

"Woaaah, gilak gede bener," bisik seorang laki-laki yang berada di belakang Vania. Kira-kira bisa ditebak apa yang dilihat laki-laki itu? Mohon jangan ditiru, bahaya untuk kesehatan fisik dan mental.

"Mana mana?" sahut kawan di sebelah laki-laki iti.

"Najis, lah! Ponsel lo banyak dosanya!" sahut kawan yang satunya.

Vania hanya menggeleng kepala pelan.

Setelah berabad-abad lamanya, akhirnya upacara bendera selesai. Semua murid bubar dan kembali ke kelas mereka masing-masing. Begitupun Vania, ia ingin beranjak dari lapangan nan luas itu.

All PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang