Kau tahu apa yang sangat aku khawatirkan? Nyaman bersamamu dan jatuh cinta sendirian.
***
Sudah satu bulan ini Arga dan Vania seringkali bersama. Entah untuk menjemput dan mengantar Vania, ke kantin sekolah bersama, menghabiskan sisa uang saku di pulang sekolah untuk mampir di warung pinggir jalan atau di area Time Zone dan juga hal lainnya.Tentu semua itu merubah kebiasaan murid yang dulunya selalu bolos, merokok, berkelahi di sekolah, tawuran, balapan, kini sudah jarang membuat ulah. Hal itu dikarenakan setengah waktu Arga terisi oleh Vania.
Mungkin bagi Vania, ini semua hanyalah kebiasaan yang sering dilakukan oleh dua orang yang sudah bersahabat. Namun, berbeda dengan Arga yang kini mendapat kenyamanan baru dari masalah yang sering membuatnya frustasi sendiri.
Entah itu cinta, atau hanya rasa nyaman saja.
Lepas dari itu semua, hari ini Vania mendapat perhatian lebih dari orang-orang yang ia lewati dari parkiran sampai koridor kelas, bahkan ada yang terlihat berbisik tak suka. Karena kali ini ia bersama Rio, bukan Arga.
"Gue gak seneng banget deh kalo kaya gini," Vania mendengus.
"Udahlah, ga usah dibawa ribet, jalan aja yang bener, kalo udah sampai di kelas juga mereka gak bakalan liatin lo lagi," sahut Rio santai.
"Hari ini gue kira bisa jalan dengan leluwasa, ternyata belum," kata Vania sedikit kecewa. Kaki Vania memang belum pulih, ia masih berjalan dengan bantuan Rio.
Tak ada hujan, tak ada badai, tak ada thunderstrom, tiba-tiba saja Arga muncul dari belakang. "Halo, Vaniaaaa!" sapanya sambil memperlihatkan cengiran lebarnya.
Rio mendecak kesal, lalu kembali memasang wajah datarnya.
"Ngapa lo?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Vania, ia malah melihat ke arah Rio dengan santai. "Kayanya lo harus segera ke kelas, soalnya kawanan lo lagi nungguin, kalau gue gak salah denger sih, kayanya mereka pengen lo segera nentuin keputusan lo tentang balap liar malam ini."
Sudut bibir Rio terangkat sebelah. "Tau dari mana lo soal temen gue?"
"Gue berani bayar nyawa kalau gue boong, tadi gue kebetulan lewat depan kelas lo," jawab Arga tanpa ragu.
Rio sempat ragu dengan Arga, baginya mungkin saja ucapannya itu cuma alibi supaya dia bisa menggantikan posisinya yang sedang bersama Vania. Tapi akhirnya ia memilih untuk pamit dengan Vania. "Gue pergi dulu," ucapnya yang dibalas Vania dengan anggukan.
"Lo segitunya banget sih, sampe berani bawa-bawa nyawa, cuma buat dia percaya, emangnya harus ya?" tanya Vania agak heran.
"Cuma itu caranya supaya dia enyah dari sini. Kalau perlu enyah dari hidup lo sekalian."
Vania memicingkan matanya. "Lo kok kaya orang cemburu gitu?" ledek Vania sembari terkekeh singkat.
"Kalau gue cemburu, lo mau apa?"
Sontak Vania terdiam, ia melihat keseriusan di mata Arga, lidahnya kelu untuk berucap. Laki-laki ini memang sering bercanda, tapi kali ini Vania merasa kalau Arga tak main-main dengan ucapannya.
Arga yang sedari tadi ikut diam, kini terkikik mencairkan suasana bisu di antara mereka. "Ga usah dibawa tegang gitu kali."
Vania memanyunkan bibirnya kesal. "Ya elo sih!"
"Kalung lo mana, Van?" Arga mengalihkan pembicaraan.
Vania meraba lehernya terkejut. "Loh, kok nggak ada?"
KAMU SEDANG MEMBACA
All Promise
Teen FictionPRIVATE ACAK, FOLLOW SEBELUM MEMBACA. R13+ Aku dengan masa laluku, kamu dengan masa lalumu. Kita adalah insan yang dipertemukan dalam satu kisah. Saling mengucapkan janji. Tapi apakah di esok hari dan seterusnya kita sanggup menepatinya? atau bahkan...