22.Mundur

2.7K 109 21
                                    

Tentang pergimu, ku harap waktu mendukungku untuk segera mengikhlaskannya.
***

Seorang laki-laki duduk di kursi luar rumah dengan anteng. Ia mengapit sebilah rokok di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Berulang kali ia isap rokok itu hingga menghasilkan asap berbau yang siapa pun jika sering menghirupnya, maka akan merasakan dampak buruk.

Masalah yang membuat suasana hatinya kelabu bersama dengan segenap perasaan kesal bercampur kecewa berusaha ia simpan rapat-rapat, tidak ingin ada orang yang tahu kalau keadaan hatinya saat ini sedang tidak baik.

Sekelebat bayang tentang kejadian beberapa hari yang lalu, sering kali menghantui ingatannya. Kejadian yang tak henti-hentinya membuat hati dan pikirannya berkecamuk tidak karuan.

Kalau sudah begini, ia selalu memilih sebilah rokok beserta pemantik untuk menemaninya. Tanpa memikirkan dampak buruk nikotin yang ganas. Ya, Rokok membunuhmu.

"Belum puas ngerokoknya?"

Mendengar suara perempuan yang berasal dari depan pintu rumah, laki-laki itu langsung menoleh.

"Udah dua hari lo di sini, gak banyak ngomong kaya biasanya. Ada masalah?" tanya perempuan itu lagi.

Laki laki itu tertawa pelan, lalu menepuk-nepuk kursi di sampingnya. "Duduk, Nin."

Perempuan yang bernama Anin itu menurut, kemudian langsung mengambil paksa rokok yang melekat di jari laki-laki itu.

"Nin?"

Anin melempar rokok itu ke halaman rumah. "Udah, cukup Arga. Cerita kalau ada masalah."

Laki-laki itu, Arga lagi-lagi tertawa pelan. "Gak usah khawatiran gitu, Nin. Gue gak papa," kilah Arga.

"Apa harus gue paksa biar lo mau cerita?"

Arga diam, pandangannya beralih lurus ke depan, lalu menghembuskan napas pelan. Lagi-lagi ia teringat masalah yang kini menerpanya.

"Nih." Anin menyodorkan benda pipih berwarna silver ke hadapan Arga. "Udah puluhan kali dia nelpon, masa lo belum mau ngasih respon?"

Arga menoleh, ia menatap ponsel miliknya itu sekilas kemudian membuang muka. "Gue lagi males ngomong."

Anin memutar bola matanya sebal. "Alasan lo nggak banget. Ayolah, dia berulang kali ngechat lo, dia khawatir, Ga."

"Itu cuma menurut lo aja."

"Lo gak bakal tau kenyataannya kalau lo gak mencari tau. Apa gunanya lo diamin dia begini?"

Arga mengacak rambutnya lalu menghembuskan napas kasar. "Please, Nin!"

Anin mengangkat kedua alisnya. "Kenapa? Segitu bencinya lo sama dia?"

Arga bungkam.

"Atau lo sebenernya sayang sama dia?"

Masih belum ada jawaban yang keluar dari mulut Arga, sementara Anin menatap Arga, berharap laki-laki itu segera menjawab pertanyaannya.

Setelah memejamkan mata beberapa detik, Arga berujar. "Soal keputusan kemarin, udah gue pikirin baik-baik. Omah bener, dulu gue terlanjur buat janji sama omah. Dan janji harus ditepati. Keputusan gue bulat, gak akan gue ubah."

"Lo adalah orang yang pandai mengubah pertanyaan gue. Tadinya gue tanya perasaan dan masalah lo, sekarang gue jadi pengen tanya, apa lo yakin dengan keputusan lo itu? Berat loh, Ga. Lo harus ninggalan segala hal penting yang ada di sana, dan memulai semuanya di sini."

All PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang