28.Masa Itu

2.3K 107 9
                                    

Meski kecewa menggoyahkan kepercayaanku, rasa sakit terkurung dalam jiwaku, perih ikut melengkapi bila mendengar namamu, tapi tetap saja, rindu adalah rasaku, terkantup rapat dalam hatiku.
***

Alana menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. "Dulu, gue pernah liat cowok di tengah malam, nyetir mobil gak keruan, dan kebetulan dia ngelintas di samping mobil gue, setelah itu gue coba nyamain kecepatan mobil gue sama mobil cowok itu, gue teriak nyuruh dia berhenti, bilang kalau sikapnya itu akan membahayakan nyawanya, tapi dia gak mau nurut. Dan ya, gue kesel terus gue biarin. Yang penting tugas gue selesai buat negur."

Vania diam, telinganya mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat yang dilontarkan Alana.

"Gak lama setelah mobil gue beberapa meter di belakang dia, mobil dia oleng dan nabrak pohon," kata Alana yang kemudian memberi jeda beberapa detik. "Gue kaget, terus gue berhenti, setelah itu banyak orang yang rumahnya dekat dengan kejadian keluar rumah karena ya kaget juga, mereka nolongin cowok itu, gue nelpon ambulace dan ikut ke rumah sakit."

"Sampai di rumah sakit, dokter nanya keluarganya dan gue sama sekali gak tau, mau cek ponselnya tapi ponselnya gak ketemu, otomatis gue harus nungguin dia bangun, gitu kata dokter. Beberapa menit gue nunggu sampai dia sadar dan gue masuk nemuin dia."

"Vaniaaa."

Vania yang sedang terbaring di atas ranjang menatap langit-langit kamar itu membuyarkan ingatannya tentang kejadian sore tadi, kemudian ia menyahut ketika pintu kamarnya setengah terbuka dan menampilkan seorang perempuan dengan bibir yang tersenyum hangat. "Iya, Ma?"

"Makan dulu, sayang."

Vania membangkitkan tubuhnya. "Tunggu bentar, Ma."

"Mama tunggu di meja makan ya."

Vania mengangguk sambil tersenyum tipis.

***

Malam itu, Alana duduk sendiri di tengah ramainya pengunjung kafe. Ia menunggu Anya yang tadi ia ajak untuk kemari. Dan kata Anya, dia sedang on the way, entah on the way kamar mandi atau on the way menuju kafe, Alana tidak tahu, ia malas bertanya, karena biasanya Anya selalu menjawab on the way kamar mandi.

Tatapan Alana lurus ke depan, tangannya mengaduk-aduk pelan jus apel di depannya. Pikirannya dipenuhi bayangan masa lalu, kejadian-kejadian yang sampai saat ini belum terlupakan.

Alana membuka pintu ragu, perlahan Alana dapat melihat wajah seseorang yang sedang terbaring di atas ranjang, tangannya di balut perban dan jarum infus terlihat di sana, bagian kepala juga ada balutan perban, begitu juga di mata kakinya.

Menyadari ada seseorang yang membuka pintu, laki-laki itu melirik ke arah pintu, membuat Alana tersenyum kikuk. "Boleh gue masuk?"

"Hmmm," jawabnya dengan gumaman, tanpa menatap Alana.

Alana masuk dan menutup pintu kembali, lalu berdiri di sisi ranjang. "Alamat keluarga lo dimana? Nomor hp juga."

Dahi laki-laki itu berkerut samar, wajahnya masih berusaha agar tetap datar. "Buat apa?"

"Hubungin mereka, biar tau keadaan dan posisi lo."

Bukannya memberikan nomor telepon atau memberi tahu alamat, laki-laki itu malah meminta tolong namun terdengar seperti perintah yang tidak ingin dibantah. "Tolong gue, bisa? Nyokap gue juga sakit, dia gak bakalan bisa datang. Lo besok ke sini lagi. Sudah cukup membantu."

All PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang