BAB 14

51 2 0
                                    

Ferina duduk gelisah di tempat tidur. Dia memikirkan Haikal dengan keanehannya, Tiara dengan dirinya, Tiffany dengan mamanya, Tama dengan dirinya.

Ferina meraih ponselnya, mencoba menghubungi Tiara.

Gagal...

Akhirnya Ferina mengirim SMS.

Angkat dong, Ra. Gue pengin ngomong. Please…

Ferina makin gelisah. Bagaimana dia harus bersikap besok? Apa yang akan dikatakannya kepada Haikal? Seharusnya Haikal tidak menyimpan perasaan seperti itu terhadap Ferina atau siapapun, jika dihatinya masih ada cewek lain.

“Benar, gue emang sayang Tiffany, tapi kalau boleh jujur… gue juga sayang sama elo.”

Kata-kata Haikal bagaikan petir menyambar.

"Mungkin dia sedang labil," pikir Ferina.

Ah, sebaiknya Ferina berpura-pura kejadian tadi sore nggak pernah terjadi.

Ferina teringat pada Tiara. Tiara nggak boleh tahu hal ini. Dia belum memaafkan Ferina. Hanya kerena masalah sepele, hanya karena Ferina memutuskan telepon Tiara waktu itu.

❤❤❤

“Kami nggak pacaran, Pak!” bantah Ferina.

Pagi itu Ferina dan Haikal dipanggil menghadap Kepala Sekolah karena kasus kabur kemarin.

“Jangan membantah dan memotong pembicaraan!” Pak Herman tampak murka.

Haikal tertunduk penuh rasa bersalah. Tapi Ferina tidak.

“Hukuman kalian akan semakin berat jika masih bersikap kurang ajar. Terutama kamu!” Pak Herman menatap Ferina tajam.

Ferina terdiam kesal. Kesal rasalnya melihat cowok bersikap nggak berdaya kayak begitu.

“Nah, akhirnya kalian sadarkan, seberapa serius kesalahan kalian?” ujar Pak Herman.

Tok! Tok!

Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Pak Herman.

“Ada apa, Bud?”

“Maaf Pak. Pohon jambu dibelakang labor kimia itu jadi ditebang, Pak?” Tanya Pak Bud, tukang kebun sekolah.

“Pak Irwan bilang, sebaiknya minta persetujuan langsung dari Bapak.” Lanjutnya.

Raut wajah Pak Herman langsung muram.

“Tebang saja, biar tidak ada lagi siswa yang bisa kabur dengan mudah dari sekolah ini.” Kata Pak Herman.

“Tapi sampaikan kepada Pak Irwan agar pohon itu didokumentasikan dulu sebelum ditebang, jelas?”

“Baik, Pak. Permisi.” Pak Bud menutup pintu.

Haikal dan Ferina memandang Pak Herman dengan raut wajah heran.

“Apa?” Tanya Pak Herman.

“Pohon jambu itu saya tanam sendiri sewaktu bersekolah di sini. Pohon itu hasil cangkongan terbaik di kelas saya dalam tugas akhir biologi, dan saya mendapat nilai tertinggi saat itu.” Tanpa sadar Pak Herman bernostalgia sendiri.

Ferina nyaris meledak tertawa mendengarnya. Pasti Pak Herman sedih banget dengan nasib pohon jambunya yang tragis itu.

“Seharusnya saya tidak menanamnya di situ.” Kata Pak Herman lagi.

“Maafkan kami soal pohon itu, Pak.” Sindir Ferina.

Haikal langsung saja menyikutnya keras.

“Aw, sakit tauk!” tukas Ferina.

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang