BAB 15

58 2 0
                                    

Suasana hening menyelimuti atmosfer dimobil Haikal. Papa Haikal, Dean, sesekali dia memainkan jarinya pada roda kemudi. Haikal sendiri sibuk pada ponselnya. Sementara itu, dijok belakang, Tama dan Ferina juga duduk diam.

Ketika tahu-tahu Ferina memaksa Tama ke Surakarta tanpa memberi penjelasan sedikit pun, cowok itu bingung, apalagi setelah mendengar cerita Haikal.

“Tiffany nggak pernah cerita dia punya adik. Dia selalu bercerita seakan-akan dia anak tunggal.” Kata Tama.

“Gue sendiri juga nggak berani bertanya lebih jauh tentang keluarganya. Gue cuma dengerin apa yang mau dia certain ke gue. Itu aja.” Lanjut Tama lagi.

“Dari cerita Haikal, Tiffany memang nggak mau orang-orang tahu mereka bersaudara.” Tambah Ferina.

“Gue yakin sekarang Tiffany ada di tempat mamanya. Kemarin waktu gue balik dari kantin, Tiffany udah nggak ada. Gue coba hubungin balik pake nomor si Aji, tapi nomornya nggak aktif. Gue yakin dia udah coba menghubungi nomor gue. Tapi ponsel gue lagi mati.” Kata Tama.

“Yah, siapa yang bakal menduga ceritanya bisa begini. Semua serba nggak terduga. Yang jelas lo bersedia kan, nganter Haikal dan papanya kesana? Gue kan nggak tahu tempatnya.” cerocos Ferina.

“Ya pastilah, nggak mungkin gue tolakkan? Tapi lo ikut juga kan, Fer?”

“Ihh… iyalah… lo kan belum kenal Haikal.” Tukas Ferina.

Kini Ferina memandang ke luar jendela mobil. Mata Ferina mulai terasa berat, dia sangat lelah.

“Gue tidur, ya?” Ferina setengah berbisik kepada Tama.

“Tidur aja.” Tama balas berbisik.

Ferina pun bersandar dibahu Tama dan memejamkan mata. Tama menggenggam tangannya. Namun pada saat yang sama Haikal melirik lewat kaca spion di depannya.

Mereka terlihat sangat dekat dan saling berbagi. Kenapa selama ini dia nggak pernah menyadarinya?

Haikal memperhatikan bagaimana Ferina berbicara dan menatap Tama. Tatapannya sangat berbeda dengan yang selama ini dilihat Haikal.

Kini Haikal mengerti, Ferina nggak pernah sedikit pun menaruh hati kepadanya.

Haikal mengalihkan pandang.

CEMBURU...

Dia tahu dirinya cemburu. Dia kembali menatap wajah Ferina yang terlelap. Sangat alami dan manis. Ferina bukan untuknya. Tapi bagaimana dengan Tiffany? Bukankah dia sangat dekat dengan Tama?

BUKAN...

Yang harus dipikirkannya saat ini adalah dirinya, Tiffany, Mama, dan Papa. Biarkanlah cinta itu.

❤❤❤

“Mama haus, Fan…” suara serak seorang wanita paruh baya menyentak Tiffany dari lamunannya.

“Mama sudah bangun?” Tanya Tiffany.

Dia menghapus air matanya.

“Udah enakan?” tanyanya.

“Entahlah.” Jawab Saza.

Tubuhnya terasa letih dan tidak berdaya.

“Baju Mama sudah beres, Fan?” untuk kesekian kali Saza mengusik lamunan Tiffany.

“Belum, mama belum bisa pulang hari ini.” Jawab Tiffany.

“Lihat keadaan dulu ya, Ma.”

“Tapi… Mama udah bosan di sini, Fan.”Tiffany diam saja.

Perkataan mamanya barusan terdengar sangat egois.

Bicara soal bosan, sudah lama dia merasa bosan dengan kehidupan abnormal yang dijalaninya bersama mamanya. Ingin rasanya Tiffany meneriakkan perasaannya.

“Aku keluar dulu.” Katanya sambil berdiri dan menuju pintu.

“Fan.” Panggil mamanya.

“Jangan tinggalin Mama…”

Tiffany tidak menggubris permohonan mamanya. Dia terus berjalan keluar. Kali ini keegoisan adalah miliknya.

Saza hanya terdiam menyaksikan kepergian putrinya. Terkadang Saza mendengar isak tertahan putrinya. Dia tidak bisa menyalahkan sikap putrinya. Semua yang terjadi adalah kesalahannya, dan dia menyesal. Sebagai seorang ibu, dia telah gagal.

Saza sering bermimpi kalau saja dia bisa mengembalikan waktu dan mengembalikkan kebahagiaan yang dulu.

Tiffany berjalan tertunduk. Ah, kenapa semua jadi begini… begitu menyakitkan baginya. Tiba-tiba bayangan Tama berkelabat dibenaknya, dan dia semakin merana.

Dia duduk di bangku taman yang kosong. Ditatapnya langit yang mendung. Dia tak ingin hidup seperti ini lagi. Dia yakin sanggup bertahan tanpa siapa pun. Dia akan pergi begitu mamanya diperbolehkan pulang. Dia akan mencari jalannya sendiri, dia akan pergi jauh dan menghilang dari semua yang pernah dikenalnya.

“Ma, Fany nggak kepingin ketemu Mama lagi. Semoga Mama cepat sembuh, Fany ingin pergi secepatnya. Semoga di suatu saat, kita akan bertemu lagi disaat dan tempat yang berbeda. Dan semoga kita sama-sama beruntung.” Ujar Tiffany lirih.

➡ VOTE & COMMENT ⬅

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang